Di
Tangan Tukang Periuk
Yeremia 18: 3 – 7
Seorang
nenek yang usianya sekitar 65 tahun sedang mengerjakan pesanan sebuah genthong. Dengan sangat hati-hati,
tangannya yang renta memijat-mijat bagian genthong
yang menggembung. Dengan penuh konsentrasi nenek itu bekerja, bahkan dengan
segenap perasaannya saat menyelesaikan bagian-bagian dengan tekstur artistik. Sementara
satu tangannya memijat, tangan yang lain memutar pelarikan. Dua tangan bekerja
dengan cermat untuk menghasilkan genthong
tanah liat sesuai pesanan pelanggannya. Ia tidak mau hasil karyanya
mengecewakan dan terlihat buruk di hadapan pemesan genthong.
Aktivitas
itu dapat kita lihat di daerah Masaran Sragen. Di sebuah kampung yang hampir
sebagian besar warganya membuat gerabah. Para perajin gerabah dengan
keahliannya mampu mengubah tanah lempung
yang terkesan kotor dan buruk menjadi produk yang sangat berguna.
Ternyata, kepiawaian tukang periuk tidak hanya
kita kenal di zaman kita hidup. Pada zaman Nabi Yeremia tukang periuk dan hasil
karyanya sudah sangat dikenal. Tukang periuk dikenal bekerja dengan sangat
serius, hati-hati, cermat, penuh perasaan, teliti, dan terutama bekerja dengan
penuh cinta. Tanpa semua itu mustahil dia menghasilkan produk yang baik, bagus,
dan indah. Rasanya kita belum pernah mendengar berita atau sekadar cerita:
seorang tukang gerabah membuat genthong tetapi
jadinya jambangan. Kita juga belum
pernah mendengar seorang pembuat gerabah: tujuannya membuat celengan tetapi
jadinya anglo.
Dalam batas-batas tertentu, seorang tukang
periuk dapat kita katakan sebagai seorang jenius. Mengapa begitu? Lihatlah
sebuah contoh. Tanah liat, tanah lempung, sekepalan tangan orang dewasa yang
bagi kita tidak berarti apa-apa bisa berubah menjadi barang seni bernilai
sangat tinggi. Tanah liat, tanah lempung, yang bagi sebagian orang merasa jijik
dan kotor bisa diubah dan dipajang di pameran-pameran internasional. Adakah di
antara kita yang tidak mau menghargai tukang periuk?
Bacaan hari ini mengajarkan dua hal. Pertama, tanah liat, tanah lempung yang
kelihatannya tidak berarti karena tidak berharga bisa menjadi sesuatu yang
sangat berharga. Kepasrahan tanah liat untuk dipijat, dipenyet-penyet, dicuwil,
ditekuk, dibengkokkan, dan diubah bentuk mempermudah tukang periuk
menjadikannya lebih berharga. Kedua, tukang
periuk memiliki kemampuan dan keterampilan yang memang dibutuhkan sebagai ahli
periuk. Dia punya cinta yang besar untuk mengerjakan perubahan dari tanah lait
menjadi barang berharga seperti kemauannya.
Dua pengajaran itu sangat relevan dengan yang
sedang kita kerjakan saat ini. Tanah liat, tanah lempung itu merupakan
personifikasi masing-masing diri kita. Masing-masing diri kita memang memiliki
kemampuan dan keterampilan. Tetapi di hadapan Tuhan, keterampilan dan kemampuan
yang kita miliki itu tidak besar artinya, kalau tidak bisa dikatakan tidak ada
artinya. Dengan pasrah sumarah di hadapan
Tuhan, kita bisa ditekuk, dipenyet-penyet, dicuil, diluruskan, dan mungkin juga
dipukul-pukul sesuai dengan kehendak Tuhan.
Tuhan Sang Tukang Periuk sebenarnya adalah
kreator ulung. Kita tidak perlu meragukan kemampuan-Nya, mempertanyakan
keahlian-Nya, mengkhawatirkan kebesaran cinta-Nya. Sungguh seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di
tangan-Ku ....
Tuhan pasti punya rencana yang baik bagi
pribadi kita masing-masing di tempat ini. Tuhan pasti sedang memperlengkapi
kita dengan kemampuan-kemampuan yang kita butuhkan dalam berpelayanan. Setiap
orang dengan keunikannnya masing-masing akan dibentuk dan dipakai dalam
pekerjaan-pekerjaan Tuhan. Pasrahkan diri kita dengan kerendahan hati agar
Tuhan leluasa mengubah hal-hal buruk menjadi baik. Hal-hal lemah menjadi kuat. Hal-hal kecil menjadi
besar.
Yakinlah! Ketika kita mengerjakan bagian kita,
Tuhan sedang mengerjakan bagian-Nya. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar