Senin, 15 Oktober 2012

Di Tangan Tukang Periuk



Di Tangan Tukang Periuk
Yeremia 18: 3 – 7

Seorang nenek yang usianya sekitar 65 tahun sedang mengerjakan pesanan sebuah genthong. Dengan sangat hati-hati, tangannya yang renta memijat-mijat bagian genthong yang menggembung. Dengan penuh konsentrasi nenek itu bekerja, bahkan dengan segenap perasaannya saat menyelesaikan bagian-bagian dengan tekstur artistik. Sementara satu tangannya memijat, tangan yang lain memutar pelarikan. Dua tangan bekerja dengan cermat untuk menghasilkan genthong tanah liat sesuai pesanan pelanggannya. Ia tidak mau hasil karyanya mengecewakan dan terlihat buruk di hadapan pemesan genthong. 
Aktivitas itu dapat kita lihat di daerah Masaran Sragen. Di sebuah kampung yang hampir sebagian besar warganya membuat gerabah. Para perajin gerabah dengan keahliannya mampu mengubah tanah lempung yang terkesan kotor dan buruk menjadi produk yang sangat berguna.
Ternyata, kepiawaian tukang periuk tidak hanya kita kenal di zaman kita hidup. Pada zaman Nabi Yeremia tukang periuk dan hasil karyanya sudah sangat dikenal. Tukang periuk dikenal bekerja dengan sangat serius, hati-hati, cermat, penuh perasaan, teliti, dan terutama bekerja dengan penuh cinta. Tanpa semua itu mustahil dia menghasilkan produk yang baik, bagus, dan indah. Rasanya kita belum pernah mendengar berita atau sekadar cerita: seorang tukang gerabah membuat genthong tetapi jadinya jambangan. Kita juga belum pernah mendengar seorang pembuat gerabah: tujuannya membuat celengan tetapi jadinya anglo.
Dalam batas-batas tertentu, seorang tukang periuk dapat kita katakan sebagai seorang jenius. Mengapa begitu? Lihatlah sebuah contoh. Tanah liat, tanah lempung, sekepalan tangan orang dewasa yang bagi kita tidak berarti apa-apa bisa berubah menjadi barang seni bernilai sangat tinggi. Tanah liat, tanah lempung, yang bagi sebagian orang merasa jijik dan kotor bisa diubah dan dipajang di pameran-pameran internasional. Adakah di antara kita yang tidak mau menghargai tukang periuk? 
Bacaan hari ini mengajarkan dua hal. Pertama, tanah liat, tanah lempung yang kelihatannya tidak berarti karena tidak berharga bisa menjadi sesuatu yang sangat berharga. Kepasrahan tanah liat untuk dipijat, dipenyet-penyet, dicuwil, ditekuk, dibengkokkan, dan diubah bentuk mempermudah tukang periuk menjadikannya lebih berharga. Kedua, tukang periuk memiliki kemampuan dan keterampilan yang memang dibutuhkan sebagai ahli periuk. Dia punya cinta yang besar untuk mengerjakan perubahan dari tanah lait menjadi barang berharga seperti kemauannya.     
Dua pengajaran itu sangat relevan dengan yang sedang kita kerjakan saat ini. Tanah liat, tanah lempung itu merupakan personifikasi masing-masing diri kita. Masing-masing diri kita memang memiliki kemampuan dan keterampilan. Tetapi di hadapan Tuhan, keterampilan dan kemampuan yang kita miliki itu tidak besar artinya, kalau tidak bisa dikatakan tidak ada artinya.  Dengan pasrah sumarah di hadapan Tuhan, kita bisa ditekuk, dipenyet-penyet, dicuil, diluruskan, dan mungkin juga dipukul-pukul sesuai dengan kehendak Tuhan.
Tuhan Sang Tukang Periuk sebenarnya adalah kreator ulung. Kita tidak perlu meragukan kemampuan-Nya, mempertanyakan keahlian-Nya, mengkhawatirkan kebesaran cinta-Nya. Sungguh seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku ....
Tuhan pasti punya rencana yang baik bagi pribadi kita masing-masing di tempat ini. Tuhan pasti sedang memperlengkapi kita dengan kemampuan-kemampuan yang kita butuhkan dalam berpelayanan. Setiap orang dengan keunikannnya masing-masing akan dibentuk dan dipakai dalam pekerjaan-pekerjaan Tuhan. Pasrahkan diri kita dengan kerendahan hati agar Tuhan leluasa mengubah hal-hal buruk menjadi baik. Hal-hal  lemah menjadi kuat. Hal-hal kecil menjadi besar.   
Yakinlah! Ketika kita mengerjakan bagian kita, Tuhan sedang mengerjakan bagian-Nya. Amin 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar