SCAFFOLDING LYTERACY DALAM MENULIS TEKS BIOGRAFI
Drs. Ely Prihmono Suwarso Putro,
M.Pd.
Guru Bahasa Indonesia SMKN 8
Surakarta
Latar
Belakang Masalah
Hari
masih pagi. Sekitar pukul 09.30 WIB. Waktu ini memasuki jam ke-3 pelajaran
Bahasa Indonesia. Kelas XI C Seni Karawitan berada di lantai 2 Ruang Teori 13.
Di kelas itu terdapat 20 meja dan 40 kursi siswa. Ruang bersegi empat ini
menghadap ke selatan. Pintu terletak di sebelah barat. Kelasnya terang
benderang dan cenderung silau karena dindingnya berjendela kaca jernih. Di
sebelah timur matahari bersinar menerangi.
Setelah
mengucapkan salam, tanya jawab sebagai bagian apersepsi, pembelajaran
dilanjutkan dengan menyampaikan kompetensi dasar, tujuan pembelajaran, dan
sekilas materi pembelajaran. Materi pembelajaran yang menjadi dasar pencapaian
kompetensi pada jam pelajaran ini adalah teks biografi. Kompetensi yang hendak
dicapai di akhir pembelajaran adalah kemampuan memproduksi teks biografi.
Peserta didik diharapkan mampu menyusun teks biografi tokoh terkenal yang dapat
menginspirasi hidup mereka. Siswa dapat meneladani kehidupan tokoh sehingga
pada saatnya nanti mereka memperoleh kesuksesan seperti tokoh yang diidolakan.
Di
tengah-tengah pembahasan dan diskusi kelas itulah muncul tanya jawab mengenai
tokoh yang dapat dijadikan subjek sekaligus objek penulisan biografi. Tanya
jawab akhirnya berhenti pada siapa motivator dan siapa yang menginspirasi siswa
menekuni bidang keterampilan yang saat ini dipilih. Dari jawaban-jawaban yang
disampaikan para siswa muncul tokoh-tokoh ayah, ibu, kakek, nenek, paman, bibi,
kakak, teman, bahakan tetangga dan guru. Menurut para siswa, tokoh-tokoh itu
lebih nyata mengarahkan dan membentuk minat yang saat ini digelutinya. Ada
dalang kondang, pengrawit handal, pesinden terkenal, dan tokoh-tokoh
seni di lingkaran keluarga mereka yang kisah hidupnya layak untuk dituliskan
menjadi biografi.
Kisah
di pagi itulah yang menginspirasi pembelajaran menulis teks biografi mengambil
tokoh orang-orang di sekitar siswa. Mereka yang berada di lingkungan dekat bisa
membuat siswa langsung terlibat dialog. Dialog yang mereka lakukan tidak hanya
seputar informasi yang dibutuhkan untuk materi menulis. Dialog yang terjadi
bisa langsung aktivitas penanaman nilai-nilai budaya, etika, dan karakter kehidupan
yang relevan dengan dunia dan lingkungan sehari-hari siswa.
Pembelajaran
Bahasa Indonesia berbasis teks memberi keleluasaan guru dalam menentukan jenis
teks yang akan dipelajari. Teks biografi yang menyajikan kisah kehidupan tokoh
merupakan salah satu jenis teks yang layak dipertimbangnkan untuk diseriusi
dalam pembalajaran menulis teks.
Menulis pada dasarnya
memadukan gagasan, tuturan, tatanan, dan wahana dalam berbagai bentuk tulisan.
Dalam pembelajaran bahasa tujuan menulis adalah setiap peserta didik mampu menghasilkan tulisan yang baik.
Tulisan yang baik sekurang-kurangnya
mencakup
tiga komponen pokok sebagai
syaratnya. Tiga komponen
pokok tersebut meliputi
(1) penguasaan bahasa tulis,
(2) penguasaan isi karangan, dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis tulisan
(Kurniawan, 2007:1).
Pencapaian
indikator menulis yang ditetapkan
dalam Kompetensi Dasar sejauh ini belum memuaskan.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
keterampilan siswa dalam menulis masih kurang. Kekurangterampilan itu antara
lain berkaitan dengan pengungkapan gagasan. Kekurangterampilan
mengungkapkan gagasan ditandai oleh (1) kekurangmampuan menerapkan ejaan, (2)
kekurangmampuan memilih kata, (3) kekurangmampuan menyusun kalimat efektif, dan
(4) kekurangmampuan mengorganisasikan gagasan.
Beverley
Axford (2007) menyampaikan bahwa pembelajaran bahasa yang efektif dapat disusun
dalam urutan yang disebut dengan scaffolding
lyteracy. Urutan yang dimaksud adalah penyatuan pembelajaran bahasa yang
secara sistematis dirancang dengan penyatuan reading,
spelling and syntax, dan writing.
Vijay
K. Bhatia dalam World of Written
Discourse (Bhatia, 2004: 207) menyampaikan scaffolding lyteracy dalam konteks
yang lebih luas lagi yang disebut dengan scaffolding learning. Scaffolding learning dapat membantu seorang pembelajar menjadi penulis
yang terampil. Pemerolehan keterampilan ini dapat dilakukan dalam proses
belajar-mengajar bahasa di dalam kelas. Dengan demikian, seorang guru bahasa
dapat menerapkan strategi ini dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan.
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Mengacu
latar belakang masalah di atas, apakah scaffolding
lyteracy mampu meningkatkan kompetensi menulis teks biografi peserta didik kelas XI C Seni Karawitan? Sesuai dengan pertanyaan tersebut, tujuan
pembahasan tulisan ini adalah meningkatkan kompetensi menulis teks biografi peserta didik kelas XI C Seni Karawitan dengan scaffolding lyteracy. Beberapa manfaat
yang diharapkan dari pembahasan permasalahan dapat di dalam konteks teori
maupun praktis.
Secara
teoritis, manfaat scaffolding lyteracy
dalam kegiatan pembelajaran ini (1) makin
luasnya khasanah ilmu pembelajaran bahasa pada umumnya dan (2) makin berkembangnya khasanah ilmu pembelajaran
menulis teks biografi pada khususnya. Adapun manfaat praktis dapat dilihat dari
sudut pandang peserta didik maupun guru.
Manfaat
yang diperoleh siswa (1) meningkatnya motivasi menulis
teks biografi, (2) meningkatnya kompetensi menulis teks
biografi, dan (3) meningkatnya kemampuan peserta didik menganalisis teks biografi. Ada sejumlah manfaat yang dapat diperoleh guru
pada pembelajaran menulis dengan scaffolding
lyteracy. Manfaat bagi guru (1) meningkatnya
kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran,
(2) meningkatnya
kemampuan guru dalam melakukan refleksi,
meningkatnya
kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran menulis teks biografi.
Sekolah
pun mendapatkan manfaat selama proses pembelajaran yang dikerjakan. Beberapa
manfaat itu (1) meningkatnya kualitas pendidikan dan pembelajaran di SMK Negeri 8 Surakarta,
(2) meningkatnya
iklim kolaborasi dalam proses belajar-mengajar di SMK Negeri 8 Surakarta,
dan (3) meningkatnya kualitas pelayanan proses belajar-mengajar di SMK Negeri 8 Surakarta.
Keterampilan Menulis
Aktivitas menulis dapat disebut sebagai bentuk
manifestasi kemampuan (dan keterampilan) berbahasa yang paling akhir dikuasai
pembelajar bahasa. Paling akhir dikuasai karena pembelajar bahasa mampu dan
bahkan terampil menulis setelah mereka menguasai kemampuan mendengarkan,
berbicara, dan membaca (Nurgiyantoro, 2001: 296).
David
Nunan (dalam Kurniawan, 2007: 1) menawarkan 5 konsep pengembangan keterampilan
menulis yang perlu dipahami. Kelima konsep itu, (1) bahasa lisan dan bahasa
tulisan perlu dibedakan, (2) aktivitas menulis merupakan sebuah proses
sekaligus hasil, (3) wacana tulis mengandung struktur generik, (4) adanya
perbedaan antara penulis terampil dan tidak terampil, dan (5) penerapan
keterampilan menulis dalam proses pembelajaran.
Berdasar beberapa pendapat di atas,
keterampilan menulis berarti keterampilan menguasai dan memanfaatkan berbagai
unsur kebahasaan maupun di luar kebahasaan dalam bentuk tulisan untuk
mengomunikasikan pendapat atau gagasan. Unsur kebahasaan maupun unsur di luar
kebahasaan diorganisasi membentuk jalinan yang baik dan tepat sehingga
berterima. Jalinan yang baik dan tepat antara unsur kebahasaan dan unsur di
luar kebahasaan akan menghasilkan karangan yang runtut dan padu.
Sejumlah tahapan dalam proses menulis harus
dilalui untuk menghasilkan tulisan yang baik. Akhadiah dan kawan-kawan (1988: 2) menyebut tiga
tahap, yaitu tahap prapenulisan, tahap penulisan, dan tahap revisi. Hampir sama
dengan pendapat tersebut, Tompkins (dalam Kurniawan, 2007: 6) menyebutkan enam
tahapan, yakni (1) pramenulis, (2) pembuatan draf, (3) perevisian, (4)
penyuntingan, dan (5) berbagi.
Tahap pramenulis merupakan tahap awal yang
sangat menentukan keberhasilan proses menulis selanjutnya. Ada sejumlah
kegiatan awal yang berguna untuk dilakukan.
Kegiatan yang berguna itu adalah (1) menentukan topik berdasar pengalaman
sendiri, (2) melakukan latihan sebelum menulis, (3) mengidentifikasi pembaca tulisan, (4) menentukan tujuan
menulis, dan (5) memilih bentuk tulisan yang tepat berdasar pembaca dan tujuan
yang telah ditentukan.
Implementasi tahapan-tahapan tersebut dalam
menyusun tulisan adalah penulis harus mengumpulkan bahan yang dibutuhkannya.
Kegiatan pengumpulan bahan dapat dilakukan dengan pengamatan, studi pustaka,
wawancara, dan sebagainya. Bahan-bahan yang didapat dari kegiatan ini diseleksi
untuk menentukan mana yang dapat dimanfaatkan dan mana yang perlu dibuang.
Bahan tulisan yang telah terkumpul selanjutnya
disajikan secara logis dan meyakinkan dengan bahasa yang baik. Rumusan yang
logis dan meyakinkan hanya dapat disusun jika penulis menguasai bahasa tulis,
isi karangan, maupun jenis-jenis tulisan.
Menurut Kurniawan (2007: 1), penguasaan bahasa
tulis meliputi penguasaan ejaan, kosa kata, struktur kalimat, paragraf,
pragmatik, semantik, dan sebagainya. Penguasaan isi karangan berkaitan dengan
pemahaman dan keluasan pengetahuan penulis terhadap topik yang dijadikan objek
kajian tulisan. Penguasaan jenis-jenis tulisan berhubungan dengan bagaimana
merangkai isi dan memanfaatkan bahasa tulis untuk menghasilkan komposisi yang
diinginkan.
Menulis ditandai oleh kemampuan meramu
kata-kata, struktur bahasa, dan kosa kata dalam rangka mencatat, merekam,
meyakinkan, melaporkan, menginformasikan, dan memengaruhi pembaca. Tujuan ini
dapat dicapai jika penulis mampu menyusun pikiran sekaligus mengemukakan secara tertulis dengan lancar, jelas,
dan komunikatif. Hal ini sejalan dengan kejelasan tulisan seperti disampaikan
McCrimmon (dalam Kurniawan, 2007: 2), yakni bergantung pada pikiran, organisasi,
diksi, dan struktur kalimat.
Pembelajaran Menulis
Pembelajaran menulis mengalami perkembangan, pergeseran, bahkan mungkin
dapat dikatakan perubahan. Perkembangan itu antara lain karena berkembangnya ilmu, tuntutan kurikulum, dan kebutuhan
peserta didik. Oleh karena itu, pengajar bahasa perlu memahami dan menerapkan
berbagai pendekatan, metode, strategi, dan teknik pengajaran bahasa. Seperti
dikemukakan Iskandarwassid dan Dadang Sunendar (2008: 67), agar peserta didik
dapat belajar secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan yang diharapkan,
salah satu yang harus dilakukan pengajar adalah memahami dan menentukan
strategi pembelajaran yang tepat.
Mulyasa (2005: 107) dalam rumusan yang berbeda menyatakan bahwa
penggunaan metode yang tepat akan menentukan
efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Metode pembelajaran harus dipilih dan
dikembangkan untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik.
Penggunaan metode yang bervariasi semakin membantu perkembangan mental peserta
didik. Mereka perlu diberi pengalaman bekerja secara abstraksi menuju konseptual.
Pembelajaran menulis
dengan pendekatan tradisional semata-mata menekankan pada hasil tulisan siswa (Kurniawan, 2007: 4). Guru
sepertinya hanya berkewajiban menentukan tema atau topik tulisan saja. Langkah
selanjutnya, siswa diberi waktu menyelesaikan tugas menulis sesuai tema
atau topik pilihan guru. Di akhir
kegiatan belajar mengajar, tulisan dikumpulkan untuk dievaluasi dan dinilai
guru.
Pelibatan siswa dalam seluruh proses menulis
dapat dilakukan dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat. Richard dan
Theodore S. Rodgers (2001) menawarkan bermacam-macam pendekatan dan metode pembelajaran bahasa sebagai alternatif.
Demikian juga, Iskandarwassid dan Dadang Sunendar (2008) menguraikan pendekatan,
metode, strategi, maupun teknik secara lebih mendetail yang semuanya dapat dipertimbangkan untuk digunakan. Meskipun dalam kenyataannya, tidak satu pun
pendekatan, metode, dan strategi belajar dapat dianggap paling baik untuk semua
siswa.
Scaffolding Lyteracy
Scaffolding lyteracy
merupakan penerapan scaffolding learning berdasarkan gagasan-gagasan yang disampaikan Vygotsky,
seorang psikolog Rusia, dan Brunner ahli psikologi pendidikan Amerika (Hyland,
2004: 122). Scaffolding learning menurut Cagiltay (2006: 93) adalah metode
untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan baru, konsep, dan kompetensi pada level
yang lebih tinggi. Penerapan Scaffolding learning dalam pembelajaran bahasa salah satunya
disampaikan oleh Beverley Axford (2007). Pembelajaran bahasa disusun dalam
urutan yang disebut dengan scaffolding
lyteracy. Urutan mengajar dirancang untuk menyatukan reading, spelling and syntax, dan writing.
1. Scaffolding Reading
Scaffolding reading diawali dengan pemilihan teks biografi yang dapat ditemukan peserta
didik. Guru menentukan bebrapa contoh teks biografi dalam buku teks Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik.
Siswa diajak memfokuskan
pada kegiatan, yakni (1) memilih teks yang sesuai untuk dikerjakan bersama
siswa dan (2) memperkenalkan teks biografi berdasarkan struktur
dan bagian-bagian unsurnya
kepada siswa.
Scaffolding reading dilakukan dengan menggunakan teks-teks biografi
Nelson Mandela, Soekarno, John F. Kennedy, Putri Diana, Khahlil Gibran, dan
Pele. Struktur teks biografi yang
sudah dikenal guru disampaikan kepada para siswa dalam pemodelan teks.
Pembahasan
teks-teks yang terdapat di dalam
buku teks pelajaran memungkinkan
guru
dan siswa mengembangkan pemahaman bahasa yang
sedang dipelajari. Aspek-aspek kebahasaan dan kaidah kebahasaan
sebagai salah satu fokus pembelajaran diperhatikan secara cermat. Contohnya, penempatan kata-kata tertentu
oleh pengarang dalam menunjukkan data, peristiwa sejarah,
gambaran karakter, aktivitas
sosial, latar belakang keluarga,
pendidikan, dan informasi-informasi lain yang dapat menginspirasi pembaca.
2. Scaffolding Spelling and Syntax
Scaffolding spelling
and syntax memberi kesempatan kepada guru dan peserta didik
melaksanakan bekerjasama dalam
mempelajari kalimat-kalimat tertentu dari teks biografi yang
dijadikan model pembelajaran. Guru yang bertindak sebagai
orang dewasa yang memilki keterampilan melakukan pendampingan dan pembimbingan
(men-scaffold)
peserta didik dalam menyusun
pemahaman terhadap frase dan kata serta pelafalan yang harus dilakukan dalam
kegiatan belajar mengajar.
Secara sederhana,
teknik transformasi diawali dengan guru menulis sebuah kalimat yang diambil dari teks
di atas selembar kartu. Guru
dan peserta didik kemudian bekerjasama untuk mengenali fungsi
setiap bagian kalimat. Berbagai macam kegiatan dilakukan untuk memastikan siswa
dapat melafalkan kata-kata dengan baik atau belum.
Seperti halnya
dengan membaca, penekanan ada pada scaffolding
dalam bentuk tugas-tugas sehingga siswa memiliki cukup informasi untuk menyelesaikan tugas
dengan sukses. Kealamiahan aktivitas dalam scaffolding spelling
and syntax ini membantu peserta didik berfokus pada kata-kata yang konkret,
pola-pola kalimat, dan
tokoh-tokoh yang dipilihnya.
3. Scaffolding Writing
Dengan menggunakan
teks, pembelajar berkedudukan sebagai model pembelajaran yang
aktif melangsungkan kegiatan menulis sebenarnya. Guru dan peserta didik mengerjakan tugas-tugas menulis secara
berkelompok dalam kegiatan yang disebut independent
reconstructed writing (menulis mandiri yang terkonstruksi). Mereka
mengerjakan tulisan mereka sendiri berdasar teks contoh sebagai pembimbing
dan mengembangkan tulisan berdasarkan data dan fakta yang dimiliki bersumber
tokoh-tokoh panutannya.
Dengan terus
menulis, mereka akan memiliki kemampuan berbahasa yang tidak dikuasai sebelumnya. Mereka akan memahami cara-cara
memanfaatkan diksi secara tepat, menggunakan ungkapan secara menarik, menyajikan
data dan peristiwa secara runtut, logis, mudah dipahami. Berdasar pemahaman itulah, mereka akan mampu
menulis seperti keinginan pembacanya.
Hasil
Scaffolding
Lyteracy
Hasil pembelajaran
dengan Scaffolding lyteracy ini berupa teks biografi yang ditulis berdasarkan tokoh-tokoh yang
berada di lingkungan dekat siswa. Lingkungan dekat yang menjadi objek penulisan
memungkinkan siswa mengekplorasi seluruh kemampuannya. Berbekal kemampuan itu,
mereka menyajikan data beserta tafsiran yang lebih nyata, lebih relevan, dan
lebih akurat.
Melalui Scaffolding
lyteracy, pembelajaran bukan
sekadar aktivitas tulis-menulis karena banyak nilai kehidupan yang terungkap
dalam tulisan para siswa. Nilai-nilai kehidupan itu langsung disadari oleh
siswa dan dituliskan dalam teksnya. Kesadaran terhadap nilai akan memudahkan
penghayatan dan penanaman sebagai jalan hidup. Inilah bagian penting proses
pendidikan karakter mata pelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks.
Berikut sajian hasil Scaffolding lyteracy beserta
karakter mulia yang terungkap dalam teks.
1.
Hormat pada orang
tua
Rasa hormat dan penghargaan anak kepada orang tua adalah nilai moralitas yang dipelajari
seorang anak dari orang tuanya. Arviani dalam biografi berjudul Ibu "Sri Rahayu" menulis Ibu merupakan sosok yang sangat saya
banggakan dan saya hormati. Pada kesempatan kali ini saya akan menuliskan
biografi singkat mengenai ibu saya. Ibu saya bernama Sri Rahayu.
Rasa hormat seorang anak kepada ibunya merupakan karakter mulia. Penulis
yang mampu menyampaikan rasa hormat dan bangga akan keberadaan ibunya tentunya
sudah memiliki sifat dan sikap ini. Tulisan ini akan sangat bermanfaat ketika
dibaca oleh siswa yang lain.
2. Kerja keras
Windarti Wahyu Setyo Asih dalam biografi
Ibu " Damiatun" belajar
arti nilai keteladanan, kerja keras, ketelatenan, dan kesabaran. Dari kecil ibu saya sudah belajar nyinden,
jika ayahnya pentas ibu saya pasti ikut untuk belajar nyinden, dan melatih
mental. ... Ibu saya merupakan seorang ibu yang pantas untuk dibanggakan dan di
jadikan teladan, karena kerja keras, ketelatenan, kesabaran yang dimilikinya.
3. Rendah hati
Aziz Faizal Utama melalui biografi Mas
Sugeng Samsiyo menyampaikan
rendah hati dan ramah tamah itu karakter yang harus dimiliki seseorang. Hal ini
terinspirasi oleh kisah hidup tokoh yang ditulisnya. Mas Sugeng adalah tokoh inspiratif bagi saya pribadi karena di balik
kepandaiannya di balik kecerdasannya ia tak canggung untuk berbagi ilmu dengan
orang lain dan Mas Sugeng tak pernah sombong , ramah , dan bisa menjadi panutan
bagi saya.
4.
Nasionalisme
Nurhalysa
Difa Irasari menulis biografi berjudul Bapak
Tohari. Dalam biografi ini dituliskan mengenai
kecintaan kepada budaya sendiri, yakni karawitan sebagai kebudayaan Jawa.
Kecintaan kepada budaya sendiri merupakan wujud cinta tanah air, bukti rasa
nasionalisme yang layak dihargai. Semangat
beliau dalam mengajar karawitan sangatlah tinggi, beliau terkesan kepada anak
muda yang melestarikan budaya jawa, beliau ingin generasi muda bisa lebih
mengenal kebudayaan Jawa, kebudayaan kita sendiri yaitu seni karawitan.
5. Tanggung jawab
Widiya Ningsih menuliskan tanggung jawab sebagai karakter yang harus
dipunyai seseorang. Teks berjudul Sadimin
menyampaikan sikap tanggung jawab yang sangat penting dan menentukan
keberhasilan seseoran. Tanggung jawab
dirinya dalam menjalankan sesuatu selalu
tepat waktu dan menampilkan yang
terbaik. Cita-cita beliau hanyalah ingin membahagikan dan membalas jasa orang
tuanya yang telah mendidik hingga sampai puncak kesuksesan.
6. Kreatif dan inovatif
Hanamar Sekar K. Dalam Sri Harjanto berkisah tentang sifat dan
sikap kreatif dan inovatif yang harus dimiliki seseorang. Selain menciptakan gendhing, Sri Harjanto adalah orang yang rajin
menulis. ... Dan pada 2010 beliau
telah membuat buku 291 halaman yang berisi 222 notasi gendhing Jawa dan diberi judul Sekar Anyelir.
7.
Pantang menyerah
Bathari Kemuning Larasati menyajikan sikap pantang menyerah dalam teks
biografi Supono. Karakter ini menjadi
modal seseorang dalam meraih yang dicita-citakan. Dengan usaha yang pantang
menyerah, seseorang dapat meraih keberhasilannya. Beliau bersekolah dengan perjuangan yang berat. Beliau juga harus
mencari uang tambahan untuk biaya hidupnya saat di Solo. Setelah 4 tahun
menjadi mahasiswa beliau lulus dengan hasil yang baik.
8. Semangat
Mufida Sofiana menulis kisah Dalang Pengruwat Suminto. Dari tokoh ini dipelajari bahwa kehidupan tidak selalu mulus jalannya.
Jatuh bangun menjadi sesuatu yang wajar. Yang menjadi poin penting adalah
bagaimana bangkit lagi ketika sdang jatuh? Semangat dan usaha bangkit lagi
menjadi karakter yang layak ditanamkan dalam menghadapi kehidupan. Dulu beliau juga sempat jatuh karirnya
sehingga beliau harus jualan es keliling bersama anaknya. Beliau tak pernah menyerah dalam menghadapi kehidupan
yang penuh saingan hingga akhirnya beliau bangkit lagi sebagai dalang pengruwat
sampai sekarang.
9. Bersyukur
Barles Berliana menghasilkan teks biografi Dalang Kembar. Karakter mulia yang
disampaikan dalam tulisan ini salah satunya adalah rasa syukur kepada Tuhan
atas semua yang terjadi dalam hidup tokoh. Penderitaan yang dialami untuk
mencapai kesuksesan adalah bagian dari proses panjang yang harus dilalui
seseorang. Di balik kesuksesan yang beliau terima dan rasakan, beliau bersyukur kepada
Tuhan Yang Mahaesa dan berterima kasih atas semuanya. Beliau beserta anak
isteri pernah tidak bisa makan sehari
karena tidak ada jadwal pementasan.
Simpulan
Scaffolding lyteracy dalam pembelajaran
menulis teks biografi menjadi sebuah alternatif pembelajaran yang layak untuk
dikembangkan. Pembelajaran ini tidak sekadar urusan tulis-menulis tetapi
sekaligus memberi pengalaman hidup kepada siswa. Nilai-nilai kehidupan sebagai
implementasi pendidikan karakter menemukan bentuknya pada teks biografi yang
dihasilkan siswa.
Daftar Pustaka
Axford,
Beverley. 2007. “Parent and Their
Children Working Together: A Scaffolding Literacy Case Study”. Australian
Journal of Language and Literacy. Vol 30, No. 1, 2007, pp. 21 – 39.
Bhatia, Vijay K. 2004. Worlds of Written Discourse. New York:
Continuum.
Cagiltay,
Kursat. 2006. “Scaffolding
Strategis in Elektronic Performance Support System: Types and Chalenges”. Inovation in
Education and Teaching International. Vol. 43, No. 1, February 2006, pp. 93
– 103.
Hyland, Ken. 2004. Genre and Second Language Writing.
Michigan : The University of Michigan Press.
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar.
2008. Strategi Pembelajaran Bahasa.
Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI dengan PT Remaja Rosdakarya.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. 2014. Bahasa
Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Jakarta: Kemdikbud.
Kurniawan,
Khaerudin. 2007. “Model Pengajaran Menulis Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing
Tingkat Lanjut”. www.ialf.edu/kipbipa/papers /Kaherudin
Kurniawan.doc.
Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional (Menciptakan
Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra
(edisi ketiga). Yogyakarta: BPFE.