Rabu, 02 Mei 2018

SCAFFOLDING LYTERACY DALAM MENULIS TEKS BIOGRAFI


SCAFFOLDING LYTERACY DALAM MENULIS TEKS BIOGRAFI
Drs. Ely Prihmono Suwarso Putro, M.Pd.
Guru Bahasa Indonesia SMKN 8 Surakarta

Latar Belakang Masalah
Hari masih pagi. Sekitar pukul 09.30 WIB. Waktu ini memasuki jam ke-3 pelajaran Bahasa Indonesia. Kelas XI C Seni Karawitan berada di lantai 2 Ruang Teori 13. Di kelas itu terdapat 20 meja dan 40 kursi siswa. Ruang bersegi empat ini menghadap ke selatan. Pintu terletak di sebelah barat. Kelasnya terang benderang dan cenderung silau karena dindingnya berjendela kaca jernih. Di sebelah timur matahari bersinar menerangi.
Setelah mengucapkan salam, tanya jawab sebagai bagian apersepsi, pembelajaran dilanjutkan dengan menyampaikan kompetensi dasar, tujuan pembelajaran, dan sekilas materi pembelajaran. Materi pembelajaran yang menjadi dasar pencapaian kompetensi pada jam pelajaran ini adalah teks biografi. Kompetensi yang hendak dicapai di akhir pembelajaran adalah kemampuan memproduksi teks biografi. Peserta didik diharapkan mampu menyusun teks biografi tokoh terkenal yang dapat menginspirasi hidup mereka. Siswa dapat meneladani kehidupan tokoh sehingga pada saatnya nanti mereka memperoleh kesuksesan seperti tokoh yang diidolakan.
Di tengah-tengah pembahasan dan diskusi kelas itulah muncul tanya jawab mengenai tokoh yang dapat dijadikan subjek sekaligus objek penulisan biografi. Tanya jawab akhirnya berhenti pada siapa motivator dan siapa yang menginspirasi siswa menekuni bidang keterampilan yang saat ini dipilih. Dari jawaban-jawaban yang disampaikan para siswa muncul tokoh-tokoh ayah, ibu, kakek, nenek, paman, bibi, kakak, teman, bahakan tetangga dan guru. Menurut para siswa, tokoh-tokoh itu lebih nyata mengarahkan dan membentuk minat yang saat ini digelutinya. Ada dalang kondang, pengrawit  handal, pesinden terkenal, dan tokoh-tokoh seni di lingkaran keluarga mereka yang kisah hidupnya layak untuk dituliskan menjadi biografi.
Kisah di pagi itulah yang menginspirasi pembelajaran menulis teks biografi mengambil tokoh orang-orang di sekitar siswa. Mereka yang berada di lingkungan dekat bisa membuat siswa langsung terlibat dialog. Dialog yang mereka lakukan tidak hanya seputar informasi yang dibutuhkan untuk materi menulis. Dialog yang terjadi bisa langsung aktivitas penanaman nilai-nilai budaya, etika, dan karakter kehidupan yang relevan dengan dunia dan lingkungan sehari-hari siswa.
Pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks memberi keleluasaan guru dalam menentukan jenis teks yang akan dipelajari. Teks biografi yang menyajikan kisah kehidupan tokoh merupakan salah satu jenis teks yang layak dipertimbangnkan untuk diseriusi dalam pembalajaran menulis teks.
Menulis pada dasarnya memadukan gagasan, tuturan, tatanan, dan wahana dalam berbagai bentuk tulisan. Dalam pembelajaran bahasa tujuan menulis adalah setiap peserta didik mampu menghasilkan tulisan yang baik. Tulisan yang baik sekurang-kurangnya mencakup tiga komponen pokok sebagai syaratnya. Tiga komponen pokok tersebut meliputi (1) penguasaan bahasa tulis, (2) penguasaan isi karangan, dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis tulisan (Kurniawan, 2007:1).
Pencapaian indikator menulis yang ditetapkan dalam Kompetensi Dasar sejauh ini belum memuaskan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keterampilan siswa dalam menulis masih kurang. Kekurangterampilan itu antara lain berkaitan dengan pengungkapan gagasan. Kekurangterampilan mengungkapkan gagasan ditandai oleh (1) kekurangmampuan menerapkan ejaan, (2) kekurangmampuan memilih kata, (3) kekurangmampuan menyusun kalimat efektif, dan (4) kekurangmampuan mengorganisasikan gagasan.
Beverley Axford (2007) menyampaikan bahwa pembelajaran bahasa yang efektif dapat disusun dalam urutan yang disebut dengan scaffolding lyteracy. Urutan yang dimaksud adalah penyatuan pembelajaran bahasa yang secara sistematis dirancang dengan penyatuan  reading, spelling and syntax, dan writing.
Vijay K. Bhatia dalam World of Written Discourse (Bhatia, 2004: 207) menyampaikan scaffolding lyteracy  dalam konteks yang lebih luas lagi yang disebut dengan scaffolding learning.  Scaffolding learning dapat membantu seorang pembelajar menjadi penulis yang terampil. Pemerolehan keterampilan ini dapat dilakukan dalam proses belajar-mengajar bahasa di dalam kelas. Dengan demikian, seorang guru bahasa dapat menerapkan strategi ini dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan.

Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Mengacu latar belakang masalah di atas, apakah scaffolding lyteracy mampu meningkatkan kompetensi menulis teks biografi peserta didik kelas XI C Seni Karawitan? Sesuai dengan pertanyaan tersebut, tujuan pembahasan tulisan ini adalah meningkatkan kompetensi menulis teks biografi peserta didik kelas XI C Seni Karawitan dengan scaffolding lyteracy. Beberapa manfaat yang diharapkan dari pembahasan permasalahan dapat di dalam konteks teori maupun praktis.
Secara teoritis, manfaat scaffolding lyteracy dalam kegiatan pembelajaran ini (1) makin  luasnya khasanah ilmu pembelajaran bahasa pada umumnya dan (2) makin berkembangnya khasanah ilmu pembelajaran menulis teks biografi pada khususnya. Adapun manfaat praktis dapat dilihat dari sudut pandang peserta didik maupun guru.
Manfaat yang diperoleh siswa (1) meningkatnya motivasi menulis teks biografi, (2) meningkatnya kompetensi menulis teks biografi, dan (3) meningkatnya kemampuan peserta didik menganalisis teks biografi. Ada sejumlah manfaat yang dapat diperoleh guru pada pembelajaran menulis dengan scaffolding lyteracy.  Manfaat bagi guru (1) meningkatnya kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran, (2) meningkatnya kemampuan guru dalam melakukan refleksi, meningkatnya kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran menulis teks biografi.
Sekolah pun mendapatkan manfaat selama proses pembelajaran yang dikerjakan. Beberapa manfaat itu (1) meningkatnya kualitas pendidikan dan pembelajaran di SMK Negeri 8 Surakarta, (2) meningkatnya iklim kolaborasi dalam proses belajar-mengajar di SMK Negeri 8 Surakarta, dan (3) meningkatnya kualitas pelayanan proses belajar-mengajar di SMK Negeri 8 Surakarta.

Keterampilan Menulis
Aktivitas menulis dapat disebut sebagai bentuk manifestasi kemampuan (dan keterampilan) berbahasa yang paling akhir dikuasai pembelajar bahasa. Paling akhir dikuasai karena pembelajar bahasa mampu dan bahkan terampil menulis setelah mereka menguasai kemampuan mendengarkan, berbicara, dan membaca (Nurgiyantoro, 2001: 296). David Nunan (dalam Kurniawan, 2007: 1) menawarkan 5 konsep pengembangan keterampilan menulis yang perlu dipahami. Kelima konsep itu, (1) bahasa lisan dan bahasa tulisan perlu dibedakan, (2) aktivitas menulis merupakan sebuah proses sekaligus hasil, (3) wacana tulis mengandung struktur generik, (4) adanya perbedaan antara penulis terampil dan tidak terampil, dan (5) penerapan keterampilan menulis dalam proses pembelajaran.
Berdasar beberapa pendapat di atas, keterampilan menulis berarti keterampilan menguasai dan memanfaatkan berbagai unsur kebahasaan maupun di luar kebahasaan dalam bentuk tulisan untuk mengomunikasikan pendapat atau gagasan. Unsur kebahasaan maupun unsur di luar kebahasaan diorganisasi membentuk jalinan yang baik dan tepat sehingga berterima. Jalinan yang baik dan tepat antara unsur kebahasaan dan unsur di luar kebahasaan akan menghasilkan karangan yang runtut dan padu.
Sejumlah tahapan dalam proses menulis harus dilalui untuk menghasilkan tulisan yang baik. Akhadiah  dan kawan-kawan (1988: 2) menyebut tiga tahap, yaitu tahap prapenulisan, tahap penulisan, dan tahap revisi. Hampir sama dengan pendapat tersebut, Tompkins (dalam Kurniawan, 2007: 6) menyebutkan enam tahapan, yakni (1) pramenulis, (2) pembuatan draf, (3) perevisian, (4) penyuntingan, dan (5) berbagi.
Tahap pramenulis merupakan tahap awal yang sangat menentukan keberhasilan proses menulis selanjutnya. Ada sejumlah kegiatan awal yang berguna  untuk dilakukan. Kegiatan yang berguna itu adalah (1) menentukan topik berdasar pengalaman sendiri, (2) melakukan latihan sebelum menulis, (3) mengidentifikasi  pembaca tulisan, (4) menentukan tujuan menulis, dan (5) memilih bentuk tulisan yang tepat berdasar pembaca dan tujuan yang telah ditentukan.
Implementasi tahapan-tahapan tersebut dalam menyusun tulisan adalah penulis harus mengumpulkan bahan yang dibutuhkannya. Kegiatan pengumpulan bahan dapat dilakukan dengan pengamatan, studi pustaka, wawancara, dan sebagainya. Bahan-bahan yang didapat dari kegiatan ini diseleksi untuk menentukan mana yang dapat dimanfaatkan dan mana yang perlu dibuang.
Bahan tulisan yang telah terkumpul selanjutnya disajikan secara logis dan meyakinkan dengan bahasa yang baik. Rumusan yang logis dan meyakinkan hanya dapat disusun jika penulis menguasai bahasa tulis, isi karangan, maupun jenis-jenis tulisan. 
Menurut Kurniawan (2007: 1), penguasaan bahasa tulis meliputi penguasaan ejaan, kosa kata, struktur kalimat, paragraf, pragmatik, semantik, dan sebagainya. Penguasaan isi karangan berkaitan dengan pemahaman dan keluasan pengetahuan penulis terhadap topik yang dijadikan objek kajian tulisan. Penguasaan jenis-jenis tulisan berhubungan dengan bagaimana merangkai isi dan memanfaatkan bahasa tulis untuk menghasilkan komposisi yang diinginkan.
Menulis ditandai oleh kemampuan meramu kata-kata, struktur bahasa, dan kosa kata dalam rangka mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, menginformasikan, dan memengaruhi pembaca. Tujuan ini dapat dicapai jika penulis mampu menyusun pikiran sekaligus mengemukakan secara tertulis dengan lancar, jelas, dan komunikatif. Hal ini sejalan dengan kejelasan tulisan seperti disampaikan McCrimmon (dalam Kurniawan, 2007: 2), yakni bergantung pada pikiran, organisasi, diksi, dan struktur kalimat.

Pembelajaran Menulis
Pembelajaran menulis mengalami perkembangan, pergeseran, bahkan mungkin dapat dikatakan perubahan. Perkembangan itu antara lain karena berkembangnya ilmu, tuntutan kurikulum, dan kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, pengajar bahasa perlu memahami dan menerapkan berbagai pendekatan, metode, strategi, dan teknik pengajaran bahasa. Seperti dikemukakan Iskandarwassid dan Dadang Sunendar (2008: 67), agar peserta didik dapat belajar secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan yang diharapkan, salah satu yang harus dilakukan pengajar adalah memahami dan menentukan strategi pembelajaran yang tepat.
Mulyasa (2005: 107) dalam rumusan yang berbeda menyatakan bahwa penggunaan metode yang tepat  akan menentukan efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Metode pembelajaran harus dipilih dan dikembangkan untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik. Penggunaan metode yang bervariasi semakin membantu perkembangan mental peserta didik. Mereka perlu diberi pengalaman bekerja secara abstraksi menuju  konseptual.
Pembelajaran menulis dengan pendekatan tradisional semata-mata menekankan pada hasil tulisan siswa (Kurniawan, 2007: 4). Guru sepertinya hanya berkewajiban menentukan tema atau topik tulisan saja. Langkah selanjutnya, siswa diberi waktu menyelesaikan tugas menulis sesuai tema atau  topik pilihan guru. Di akhir kegiatan belajar mengajar, tulisan dikumpulkan untuk dievaluasi dan dinilai guru.
Pelibatan siswa dalam seluruh proses menulis dapat dilakukan dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat. Richard dan Theodore S. Rodgers (2001) menawarkan bermacam-macam pendekatan dan metode  pembelajaran bahasa sebagai alternatif. Demikian juga, Iskandarwassid dan Dadang Sunendar (2008) menguraikan pendekatan, metode, strategi, maupun teknik secara lebih mendetail yang semuanya dapat dipertimbangkan untuk digunakan. Meskipun dalam kenyataannya, tidak satu pun pendekatan, metode, dan strategi belajar dapat dianggap paling baik untuk semua siswa.

Scaffolding Lyteracy
Scaffolding lyteracy merupakan penerapan scaffolding learning berdasarkan gagasan-gagasan yang disampaikan Vygotsky, seorang psikolog Rusia, dan Brunner ahli psikologi pendidikan Amerika (Hyland, 2004: 122). Scaffolding learning menurut Cagiltay (2006: 93) adalah metode untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan baru, konsep, dan kompetensi pada level yang lebih tinggi. Penerapan Scaffolding learning dalam pembelajaran bahasa salah satunya disampaikan oleh Beverley Axford (2007). Pembelajaran bahasa disusun dalam urutan yang disebut dengan scaffolding lyteracy. Urutan mengajar dirancang untuk menyatukan reading, spelling and syntax, dan writing.

1.    Scaffolding Reading
Scaffolding reading diawali dengan pemilihan teks biografi yang dapat ditemukan peserta didik. Guru menentukan bebrapa contoh teks biografi dalam buku teks Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Siswa diajak memfokuskan pada kegiatan, yakni (1) memilih teks yang sesuai untuk dikerjakan bersama siswa dan (2) memperkenalkan teks biografi berdasarkan struktur dan bagian-bagian unsurnya kepada siswa.
Scaffolding reading dilakukan dengan menggunakan teks-teks biografi Nelson Mandela, Soekarno, John F. Kennedy, Putri Diana, Khahlil Gibran, dan Pele. Struktur teks biografi yang sudah dikenal guru disampaikan kepada para siswa dalam pemodelan teks.
Pembahasan teks-teks yang terdapat di dalam buku teks pelajaran memungkinkan guru dan siswa mengembangkan pemahaman bahasa yang sedang dipelajari. Aspek-aspek kebahasaan dan kaidah kebahasaan sebagai salah satu fokus pembelajaran diperhatikan secara cermat. Contohnya, penempatan kata-kata tertentu oleh pengarang dalam menunjukkan data, peristiwa sejarah, gambaran karakter, aktivitas sosial, latar belakang keluarga, pendidikan, dan informasi-informasi lain yang dapat menginspirasi pembaca.

2.    Scaffolding Spelling and Syntax
Scaffolding spelling and syntax memberi kesempatan kepada guru dan peserta didik melaksanakan bekerjasama dalam mempelajari kalimat-kalimat tertentu dari teks biografi yang dijadikan model pembelajaran. Guru yang bertindak sebagai orang dewasa yang memilki keterampilan melakukan pendampingan dan pembimbingan (men-scaffold) peserta didik dalam menyusun pemahaman terhadap frase dan kata serta pelafalan yang harus dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar.
Secara sederhana, teknik transformasi diawali dengan guru menulis sebuah kalimat yang diambil dari teks di atas selembar kartu.  Guru dan peserta didik kemudian bekerjasama untuk mengenali fungsi setiap bagian kalimat. Berbagai macam kegiatan dilakukan untuk memastikan siswa dapat melafalkan kata-kata dengan baik atau belum.
Seperti halnya dengan membaca, penekanan ada pada scaffolding dalam bentuk tugas-tugas sehingga siswa memiliki cukup informasi untuk menyelesaikan tugas dengan sukses. Kealamiahan aktivitas dalam scaffolding spelling and syntax ini membantu peserta didik berfokus pada kata-kata yang konkret, pola-pola kalimat, dan tokoh-tokoh yang dipilihnya.

3.    Scaffolding Writing
Dengan menggunakan teks, pembelajar berkedudukan sebagai model pembelajaran yang aktif melangsungkan kegiatan menulis sebenarnya. Guru dan peserta didik mengerjakan tugas-tugas menulis secara berkelompok dalam kegiatan yang disebut independent reconstructed writing (menulis mandiri yang terkonstruksi). Mereka mengerjakan tulisan mereka sendiri berdasar teks contoh sebagai pembimbing dan mengembangkan tulisan berdasarkan data dan fakta yang dimiliki bersumber tokoh-tokoh panutannya.
Dengan terus menulis, mereka akan memiliki kemampuan berbahasa yang tidak dikuasai  sebelumnya. Mereka akan memahami cara-cara memanfaatkan diksi secara tepat, menggunakan ungkapan secara menarik, menyajikan data dan peristiwa secara runtut, logis, mudah dipahami. Berdasar pemahaman itulah, mereka akan mampu menulis seperti keinginan pembacanya.

Hasil Scaffolding Lyteracy
Hasil pembelajaran dengan Scaffolding lyteracy ini berupa teks biografi yang ditulis berdasarkan tokoh-tokoh yang berada di lingkungan dekat siswa. Lingkungan dekat yang menjadi objek penulisan memungkinkan siswa mengekplorasi seluruh kemampuannya. Berbekal kemampuan itu, mereka menyajikan data beserta tafsiran yang lebih nyata, lebih relevan, dan lebih akurat.
Melalui Scaffolding lyteracy, pembelajaran bukan sekadar aktivitas tulis-menulis karena banyak nilai kehidupan yang terungkap dalam tulisan para siswa. Nilai-nilai kehidupan itu langsung disadari oleh siswa dan dituliskan dalam teksnya. Kesadaran terhadap nilai akan memudahkan penghayatan dan penanaman sebagai jalan hidup. Inilah bagian penting proses pendidikan karakter mata pelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks.
Berikut sajian hasil Scaffolding lyteracy beserta karakter mulia yang terungkap dalam teks.
1.    Hormat pada orang tua
Rasa hormat dan penghargaan anak kepada orang  tua adalah nilai moralitas yang dipelajari seorang anak dari orang tuanya. Arviani dalam biografi berjudul Ibu "Sri Rahayu" menulis Ibu merupakan sosok yang sangat saya banggakan dan saya hormati. Pada kesempatan kali ini saya akan menuliskan biografi singkat mengenai ibu saya. Ibu saya bernama Sri Rahayu.
Rasa hormat seorang anak kepada ibunya merupakan karakter mulia. Penulis yang mampu menyampaikan rasa hormat dan bangga akan keberadaan ibunya tentunya sudah memiliki sifat dan sikap ini. Tulisan ini akan sangat bermanfaat ketika dibaca oleh siswa yang lain.
2.    Kerja keras
Windarti Wahyu Setyo Asih dalam biografi Ibu " Damiatun" belajar arti nilai keteladanan, kerja keras, ketelatenan, dan kesabaran. Dari kecil ibu saya sudah belajar nyinden, jika ayahnya pentas ibu saya pasti ikut untuk belajar nyinden, dan melatih mental. ... Ibu saya merupakan seorang ibu yang pantas untuk dibanggakan dan di jadikan teladan, karena kerja keras, ketelatenan, kesabaran  yang dimilikinya.
3.    Rendah hati
Aziz Faizal Utama melalui biografi Mas Sugeng Samsiyo menyampaikan rendah hati dan ramah tamah itu karakter yang harus dimiliki seseorang. Hal ini terinspirasi oleh kisah hidup tokoh yang ditulisnya. Mas Sugeng adalah tokoh inspiratif bagi saya pribadi karena di balik kepandaiannya di balik kecerdasannya ia tak canggung untuk berbagi ilmu dengan orang lain dan Mas Sugeng tak pernah sombong , ramah , dan bisa menjadi panutan bagi saya.
4.    Nasionalisme
Nurhalysa Difa Irasari menulis biografi berjudul Bapak Tohari. Dalam  biografi ini dituliskan mengenai kecintaan kepada budaya sendiri, yakni karawitan sebagai kebudayaan Jawa. Kecintaan kepada budaya sendiri merupakan wujud cinta tanah air, bukti rasa nasionalisme yang layak dihargai. Semangat beliau dalam mengajar karawitan sangatlah tinggi, beliau terkesan kepada anak muda yang melestarikan budaya jawa, beliau ingin generasi muda bisa lebih mengenal kebudayaan Jawa, kebudayaan kita sendiri yaitu seni karawitan.
5.    Tanggung jawab
Widiya Ningsih menuliskan tanggung jawab sebagai karakter yang harus dipunyai seseorang. Teks berjudul Sadimin menyampaikan sikap tanggung jawab yang sangat penting dan menentukan keberhasilan seseoran. Tanggung jawab dirinya  dalam menjalankan sesuatu selalu tepat waktu dan  menampilkan yang terbaik. Cita-cita beliau hanyalah ingin membahagikan dan membalas jasa orang tuanya yang telah mendidik hingga sampai puncak kesuksesan.
6.    Kreatif dan inovatif
Hanamar Sekar K. Dalam Sri Harjanto berkisah tentang sifat dan sikap kreatif dan inovatif yang harus dimiliki seseorang. Selain menciptakan gendhing, Sri Harjanto adalah orang yang rajin menulis. ... Dan pada 2010 beliau telah membuat buku 291 halaman yang berisi 222 notasi gendhing Jawa dan diberi judul Sekar Anyelir.
7.    Pantang menyerah
Bathari Kemuning Larasati menyajikan sikap pantang menyerah dalam teks biografi Supono. Karakter ini menjadi modal seseorang dalam meraih yang dicita-citakan. Dengan usaha yang pantang menyerah, seseorang dapat meraih keberhasilannya. Beliau bersekolah dengan perjuangan yang berat. Beliau juga harus mencari uang tambahan untuk biaya hidupnya saat di Solo. Setelah 4 tahun menjadi mahasiswa beliau lulus dengan hasil yang baik.
8.    Semangat
Mufida Sofiana menulis kisah Dalang Pengruwat  Suminto. Dari tokoh ini dipelajari bahwa kehidupan tidak selalu mulus jalannya. Jatuh bangun menjadi sesuatu yang wajar. Yang menjadi poin penting adalah bagaimana bangkit lagi ketika sdang jatuh? Semangat dan usaha bangkit lagi menjadi karakter yang layak ditanamkan dalam menghadapi kehidupan. Dulu beliau juga sempat jatuh karirnya sehingga beliau harus jualan es keliling bersama anaknya. Beliau  tak pernah menyerah dalam menghadapi kehidupan yang penuh saingan hingga akhirnya beliau bangkit lagi sebagai dalang pengruwat sampai sekarang.
9.    Bersyukur
Barles Berliana menghasilkan teks biografi Dalang Kembar. Karakter mulia yang disampaikan dalam tulisan ini salah satunya adalah rasa syukur kepada Tuhan atas semua yang terjadi dalam hidup tokoh. Penderitaan yang dialami untuk mencapai kesuksesan adalah bagian dari proses panjang yang harus dilalui seseorang. Di balik kesuksesan yang beliau terima dan rasakan, beliau bersyukur kepada Tuhan Yang Mahaesa dan berterima kasih atas semuanya. Beliau beserta anak isteri pernah  tidak bisa makan sehari karena tidak ada jadwal pementasan.

Simpulan
Scaffolding lyteracy dalam pembelajaran menulis teks biografi menjadi sebuah alternatif pembelajaran yang layak untuk dikembangkan. Pembelajaran ini tidak sekadar urusan tulis-menulis tetapi sekaligus memberi pengalaman hidup kepada siswa. Nilai-nilai kehidupan sebagai implementasi pendidikan karakter menemukan bentuknya pada teks biografi yang dihasilkan siswa.


Daftar Pustaka
Axford, Beverley. 2007. Parent and Their Children Working Together: A Scaffolding Literacy Case Study. Australian Journal of Language and Literacy. Vol 30, No. 1, 2007, pp. 21 – 39.
Bhatia, Vijay K. 2004. Worlds of Written Discourse. New York: Continuum.
Cagiltay, Kursat. 2006. Scaffolding Strategis in Elektronic Performance Support System: Types and Chalenges. Inovation in Education and Teaching International. Vol. 43, No. 1, February 2006, pp. 93 – 103.
Hyland, Ken. 2004. Genre and Second Language Writing. Michigan : The University of Michigan Press.
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI dengan PT Remaja Rosdakarya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Jakarta: Kemdikbud.
Kurniawan, Khaerudin. 2007. “Model Pengajaran Menulis Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing Tingkat Lanjut”. www.ialf.edu/kipbipa/papers /Kaherudin Kurniawan.doc.
Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional (Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra (edisi ketiga). Yogyakarta: BPFE.