Selasa, 30 November 2010

मकलाह KGI

SCAFFOLDING LEARNING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA


Oleh:
Drs. Ely Prihmono Suwarso Putro, M.Pd.
Guru SMA Kristen 1 Surakarta

A.Pengantar
Scaffolding learning secara lebih spesifik memakai gagasan-gagasan yang disampaikan Vygotsky, seorang psikolog Rusia, dan Brunner ahli psikologi pendidikan Amerika (Hyland, 2004: 122). Gagasan scaffolding menekankan peran interaksi dengan teman sebaya dan dengan orang lain yang lebih berpengalaman dalam pembelajaran. Faktor interaksi dalam kegiatan belajar mengajar sangat penting untuk menanamkan kompetensi yang sedang dipelajari.
Scaffolding learning menurut Cagiltay (2006: 93) adalah metode untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan baru, konsep, dan kompetensi pada level yang lebih tinggi. Metode ini dapat juga mengembangkan pemahaman pembelajar terhadap bermacam-macam keahlian atau keterampilan yang masih baru. Menurut Cagiltay, Scaffolding learning dapat menolong seorang pembelajar mencapai tingkat performa yang diinginkan dengan cepat.
North Central Regional Educational Laboratory (NCREL, 2008) dalam rumusan yang lebih teknis menyatakan scaffolding sebagai “an instructional technique whereby the teacher models the desired learning strategy or task, than gradually shifts responsibility to the students”. Scaffolding adalah cara pembelajaran yang ditandai dengan beberapa tahapan dalam pelaksanaannya. Tahap awal dilaksanakan dengan pemberian tugas melalui pemodelan seperti yang diinginkan guru. Setelah proses pemodelan dianggap mencapai keberhasilan tertentu, tanggung jawab belajar digeser kepada peserta didik.
Dalam perspektif Australian Government (2002: 11), pembelajaran dengan scaffolding learning bukanlah tentang pengiriman atau pemerolehan ilmu. Pembelajaran pada prinsipnya adalah transformasi, yaitu pengubahan sifat dasar seseorang yang berpartisipasi dalam sebuah usaha kerja sama. Pergeseran partisipasi antara lain ditandai perubahan peran: dari pembelajar pasif menjadi lebih aktif, dari pengamat menjadi peserta, dan dari peserta menjadi anggota ahli dalam komunitas.
Keikutsertaan sebagai ahli pada kesempatan berikutnya akan ditransformasi ke cara-cara baru untuk mengajar, cara-cara untuk berpartisipasi, dan cara-cara untuk mengubah peran sebagai akibat perubahan peran yang lainnya. Dengan scaffolding learning, setiap orang belajar dan bekerja bersama-sama dalam mencapai tujuan bersama yang akan berguna untuk tugas-tugas di sekolah maupun di luar sekolah.

B.Prinsip-prinsip Scaffolding Learning
Dari beberapa pendapat di atas, scaffolding learning dapat dipahami sebagai sebuah strategi pembelajaran yang sistematis, efisien, dan efektif. Sistematis ditandai dengan tahapan-tahapan pembelajaran yang terstruktur dalam pelaksanaannya. Efisien ditandai oleh keterlibatan orang lain yang lebih berpengalaman dalam kegiatan pembelajaran. Efektivitas dapat dilihat dari hasil pembelajaran, seorang pembelajar dapat dengan cepat menguasai keahlian yang relatif baru. Di samping itu, interaksi yang terjadi mengubah partisipasi dan peran pembelajar dalam keseluruhan kegiatan belajar mengajar.
Esensi scaffolding learning adalah menggerakkan pembelajar dari tingkat Zone of Actual Development (ZAD) menuju ke Zone of Proximal Development (ZPD) (Australian Government, 2002: 6). Kemajuan belajar dari tingkat ke tingkat lainnya tidak diperoleh hanya melalui masukan oleh guru tetapi lebih melalui interaksi sosial dan bantuan dari orang lain yang lebih cakap dan berpengalaman. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa para siswa mampu mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada mereka yang mungkin telah mencapainya dengan bekerja secara individual.
Wilayah perkembangan aktual (Zone of Actual Development) berhubungan dengan wilayah perkembangan kemampuan seseorang. Ketika seorang guru memberi tugas dan para siswa mampu mengerjakannya, tugas tersebut berada pada wilayah ZAD. Dalam konteks scaffolding learning, mereka yang secara mandiri dapat menyelesaikan tugas dengan baik sebenarnya tidak belajar apa-apa karena memang sudah mampu.
Wilayah perkembangan dalam pengajaran dan pembelajaran menurut konsep scaffolding learning terjadi di wilayah perkembangan proximal (Zone of Proximal Development). Pembelajaran berada di wilayah kognitif, tepatnya terletak di luar kemampuan yang dapat dilakukan seorang anak. Apapun yang bisa dipelajari seorang anak dengan bantuan dan dukungan dari guru, teman sebaya, maupun lingkungan pembelajaran dikatakan terletak dalam ZPD.
Kompetensi seorang anak hanya dapat dikembangkan di ZPD melalui kerja sama. Kerja sama diciptakan melalui kegiatan-kegiatan yang aktual, konkret, dan tersituasi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih mampu (Australian Government, 2002: 6). Situasi tersebut memberi peluang pada setiap siswa yang terlibat untuk saling membantu dalam menyelesaikan tugas.
Dengan cukupnya latihan terbantu, seorang anak menginternalisasikan strategi-strategi dan bahasa untuk menyelesaikan tugas. Selanjutnya, strategi dan instruksi itu dijadikan bagian psikologi anak untuk memecahkan masalah pribadi. Ketika hal ini tercapai, strategi pembelajaran memasuki ZAD siswa karena mereka sekarang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik tanpa bantuan. Keterampilan yang diperoleh tersebut pada saatnya mampu diterapkan dalam situasi yang mungkin akan ditemui kemudian.

C.Scaffolding Learning dalam Pembelajaran Bahasa
Penerapan scaffolding learning dalam pembelajaran bahasa salah satunya disampaikan oleh Beverley Axford (2007). Pembelajaran bahasa disusun dalam urutan yang disebut dengan scaffolding lyteracy. Urutan mengajar dirancang untuk menyatukan reading, spelling and syntax, dan writing.

1.Scaffolding Reading
Scaffolding reading diawali dengan pemilihan teks yang berorientasi pada buku atau bagian-bagiannya. Orang dewasa memfokuskan pada kegiatan, yakni (1) memilih teks yang sesuai untuk dikerjakan bersama siswa dan (2) memperkenalkan buku atau bagian dari buku kepada siswa.
Teks-teks yang dikerjakan siswa dalam program ini ditentukan berdasar kemampuan berbahasa mereka. Struktur bahasa dalam teks dipilih yang cukup kompleks dan beragam sehingga maksud pengarang dapat secara eksplisit dibahas bersama siswa. Pembahasan dimaksudkan untuk menemukan susunan bahasa tulis yang jelas.
Scaffolding reading kebanyakan menggunakan teks-teks naratif (cerita). Struktur naratif biasanya dikenal baik oleh orang dewasa dan siswa. Di samping itu, para penulis buku naratif cenderung memberikan lebih banyak perhatian pada susunan dan pemilihan kata daripada para penulis nonfiksi.
Membahas teks-teks jenis ini memungkinkan orang dewasa dan siswa mengembangkan pemahaman bahasa yang sedang dipelajari. Aspek-aspek kebahasaan dari teks dapat diperhatikan secara cermat. Contohnya, penempatan kata-kata tertentu oleh pengarang dalam menggambarkan karakter, latar, atau meningkatkan ketegangan).
2. Scaffolding Spelling and Syntax Melalui Transformations
Transformations memberi kesempatan kepada orang dewasa dan siswa bekerjasama dalam mempelajari kalimat-kalimat tertentu dari teks. Orang dewasa, dalam hal ini guru atau teman sebaya yang lebih mampu men-scaffold / menyusun pemahaman frase dan kata serta pelafalan yang harus dilakukan pembelajar. Pungtuasi, sintaksis, dan aspek-aspek lain dari tata bahasa fungsional (functional grammar) dapat juga dijelaskan menggunakan teknik ini.
Secara sederhana, teknik transformasi diawali dengan orang dewasa menulis sebuah kalimat yang diambil dari teks di atas selembar kartu. Orang dewasa dan anak kemudian bekerjasama untuk mengenali fungsi setiap bagian kalimat. Kegiatan selanjutnya memilah kalimat ke dalam komponennya, yaitu kata dan frase. Berbagai macam kegiatan kemudian dilakukan untuk memastikan siswa dapat melafalkan kata-kata dengan baik atau belum.
Seperti halnya dengan membaca, penekanan ada pada scaffolding dalam bentuk tugas-tugas sehingga anak mempunyai cukup informasi untuk menyelesaikan tugas dengan sukses. Scaffolding juga dipakai untuk menghindarkan tugas dari kesan tes yang hanya dihafalkan. Kealamiahan aktivitas transformation ini membantu siswa berfokus pada kata-kata yang konkret dan/ atau pola-pola huruf.
3. Scaffolding Writing
Dengan menggunakan teks, pembelajar berkedudukan sebagai model. Guru dan siswa mengerjakan tugas-tugas menulis secara berkelompok dalam kegiatan yang disebut independent reconstructed writing (mengarang mandiri yang terkonstruksi). Mereka mengerjakan karangan mereka sendiri berdasar pada teks contoh sebagai pembimbing. Pola ini mendorong ingatan mereka untuk mengingat susunan bahasa yang digunakan oleh pengarang.
Hal yang perlu dipahami, menulis bukanlah bagian terakhir dari urutan mengajar scaffolding literacy. Menulis merupakan cara mengarahkan seseorang ke bacaan selanjutnya. Urutan mengajar memungkinkan putaran balikan atau siklus yang berkelanjutan. Usaha siswa untuk menghasilkan teks (karangan) memungkinkan mereka memahami struktur teks berikutnya yang lebih rumit.
Dengan terus menulis, mereka akan memiliki kemampuan berbahasa yang tidak dikuasai sebelumnya. Mereka akan memahami cara-cara pengarang memanfaatkan diksi secara tepat, menggunakan ungkapan secara menarik, maupun menciptakan ketegangan atau misteri. Berdasar pada pemahaman itulah, mereka akan mampu menulis seperti keinginan pembacanya.

D.Penerapan Scaffolding Learning
Hyland (2004 :130 – 139) memodifikasi tahapan scaffolding learning ke dalam langkah-langkah pembelajaran. Langkah-langkah pembelajaran disebut Hyland dengan istilah developing the contexts, modeling, joint negotiation, independent construction, dan comparing texts. Masing-masing istilah selanjutnya diuraikan dalam paparan di bawah ini.

1.Developing the Contexts
Pada tahap ini para guru harus memahami aspek-aspek utama konteks pembelajaran. Guru memperkenalkan konteks tulisan yang sedang dibahas kepada para siswa. Berbagai macam topik yang dijumpai pada contoh-contoh tulisan dimaksudkan untuk menemukan konteks situasi, tujuan penulisan, jenis tulisan, pembaca, dan penulis teks. Penemuan hal-hal tersebut memungkinkan para siswa membawa pengalaman-pengalamannya sendiri ke proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Secara mandiri para siswa diarahkan mampu memahami topik tulisan, jenis teks, tujuan penulisan, pembaca, bahasa, situasi, dan media yang dipergunakan.
Menurut Hyland (2004: 130–132) ada beberapa aktivitas yang dapat digunakan untuk memahami konteks tulisan. Misalnya, menyajikan sejumlah paragraf, menghadirkan dan membahas konteks melalui gambar, film, film dokumentasi, bahan-bahan jurnalistik, realita, kunjungan ke wilayah tertentu, dan pembicara tamu. Aktivitas lain adalah menyediakan tugas analitis untuk mengungkapkan aspek-aspek dari konteks sajian. Menemukan ragam bahasa yang digunakan dalam teks. Siswa dapat juga diikutsertakan dalam simulasi, drama, studi kasus, dan aktivitas lain. Yang terakhir, siswa didorong melakukan identifikasi dan internalisasi dalam latihan literasi melalui pengamatan terhadap lingkungan, wawancara partisipan, dan analisis teks.

2.Modeling
Modeling merupakan aktivitas scaffolding yang penting. Aktivitas modeling atau pemodelan melibatkan guru dan pembelajar dalam membahas dan menyelidiki tipe teks, ciri-ciri ungkapan, dan susunan bahasanya. Tujuan pemodelan untuk memfokuskan para siswa pada ciri-ciri tulisan. Tulisan yang sesuai dengan materi dianalisis, dibandingkan, dan dimanipulasi dengan tujuan membuat siswa peka terhadap struktur umum. Kegiatan ini menyiapkan siswa memahami berbagai perbedaan yang ada pada tipe-tipe tulisan.
Hal penting lain yang harus dilakukan adalah memperlengkapi siswa dengan pengetahuan dan sumber-sumber yang diperlukan untuk menghasilkan tulisan berkualitas. Cara yang dapat dilakukan yaitu dengan latihan menulis berdasar model-model tulisan yang disajikan guru. Bentuk-bentuk yang ada dimodifikasi dan dimanipulasi secara anatomis. Kegiatan ini memberi pengalaman bahwa menulis dapat dilakukan secara sistematis dengan langkah-langkah teknis yang jelas.
Siswa juga perlu dipahamkan bahwa belajar menulis berkaitan dengan pemerolehan kemampuan untuk berlatih pilihan linguistik yang tepat. Peran guru sangat besar dalam membantu siswa menyusun tata bahasa secara eksplisit (Hyland, 2004: 132). Termasuk di dalamnya adalah mengendalikan dan memanipulasi sumber-sumber bahasa karena hal ini sangat penting untuk menghasilkan teks yang baik.
Sementara itu, keanekaragaman tugas yang diberikan guru digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa akan ciri-ciri teks. Tujuan yang lain adalah mendorong atau men-scaffold penguasaan keterampilan menyusun berbagai jenis teks. Pemodelan atau modeling tentu saja mencakup penganalisisan tipe teks pada tahapan yang berbeda dalam banyak tugas pengajaran bahasa yang familier (Hyland, 2004: 133).

3.Joint Negotiation
Guru dan siswa bekerja sama membangun seluruh contoh teks. Pada tahap ini, guru mengurangi kontribusinya saat pembelajar memperoleh pengontrolan terhadap penulisan mereka. Ketika para siswa tahu apa yang diperlukan, mereka berada pada posisi yang lebih baik untuk menyusun tulisan berbagai jenis. Namun demikian, mereka masih mengandalkan bantuan akan tugas-tugas yang terstruktur dan bimbingan dari guru atau teman yang lebih mampu (Hyland, 2004: 134).
Fokus guru berkurang pada masukan dan pemodelan tetapi mulai bertindak sebagai fasilitator untuk aktivitas-aktivitas menulis. Dalam hal ini, guru berperan sebagai pemberi tanggapan terhadap tulisan siswa. Adapun para siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok. Mereka juga diberi peluang untuk mendapatkan bantuan lebih banyak dan intensif rekan satu kelompoknya.
Diperlukan aktivitas-aktivitas penulisan bersama antara guru dengan siswa sepanjang hal tersebut memang diperlukan. Aktivitas-aktivitas itu antara lain menyusun seluruh kelas di bawah pimpinan seorang guru. Aktivitas berikutnya adalah mengumpulkan informasi melalui penelitian dan wawancara. Kegiatan selanjutnya dilakukan dengan penyusunan kelompok yang lebih kecil, berdasarkan teks yang akan dipresentasikan di kelas. Kegiatan diakhiri dengan menyelesaikan teks-teks yang belum selesai atau menyelesaikan kerangka teks.

4.Independent Construction
Tujuan tahap ini adalah menerapkan apa yang siswa pelajari dan menulis teks secara mandiri (Hyland, 2004: 136). Pada waktu bersamaan guru melihat dan memberi saran di luar aktivitas menulis siswa. Semua siswa yang siap menulis memerlukan kesempatan yang lebih luas untuk menyusun teks sesuai tugas.
Mengikutsertakan siswa dalam seluruh proses penulisan memberikan pengalaman terhadap performa independen masing-masing. Pembelajar menggabungkan pengetahuan mengenai isi, proses, ungkapan bahasa, konteks, dan jenis teks. Pada waktu bersamaan, guru memiliki kesempatan untuk menentukan tingkat pencapaian siswa terhadap kompetensi menulis.
Para siswa mungkin memerlukan bantuan di awal proses menulis. Kecakapan-kecakapan yang diperlukan antara lain menghasilkan isi, draf, dan memperbaiki tulisan panjang dan terperinci. Oleh karena itu, sebuah metode mengajar perlu mengembangkan strategi perencanaan, pengedrafan, penulisan kembali, pemeriksaan, dan perbaikan tulisan.
Hyland (2004: 137) menyampaikan beberapa kegiatan independent construction dalam rumusan-rumusan berikut ini. (1) Melatih kegiatan-kegiatan pramenulis (mengembangkan gagasan-gagasan dan berpikir bagaimana menyelesaikannya secara bersama-sama, menulis secara bebas, pengotakan (cubing), dan lain-lain). (2) Menguraikan dan membuat draf berdasarkan aktivitas-aktivitas pramenulis. (3) Menulis teks untuk tujuan yang lain (mengubah tipe teks sesuai kebutuhan). (4) Memperbaiki draf sebagai tanggapan terhadap komentar orang lain. (5) Mengoreksi dan mengedit draf mengenai tata bahasa dan ungkapan bahasa. (6) Membaca dan menanggapi gagasan-gagasan/draf yang lain. (7) Meneliti, menulis, dan menyempurnakan teks berdasarkan tanggapan orang lain.

5.Comparing Texts
Metode menulis dan memahami tipe teks yang diajarkan sebelumnya memberi siswa dasar potensial untuk berpikir dan meninjau cara-cara pengaturan dan penyusunan pengetahuan dan informasi. Scaffolding learning menciptakan kebiasaan terhadap teks yang dipelajari dan memampukan guru mendorong siswa melihat cara teks disusun secara berurutan. Siswa mengetahui bahwa mereka dapat menulis dengan cara memberi tanggapan terhadap teks dalam sebuah diskusi.
Diskusi merupakan kesempatan berbagi pengetahuan. Hal yang dibagikan adalah hasil membaca dan menganalisis tulisan teman. Mereka saling memberi informasi kekurangan dan kelebihan teks yang dibacanya. Dalam kesempatan ini, setiap orang menyampaikan tanggapan maupun memberi saran perbaikan. Objek pembicaraan meliputi penulisan ejaan, diksi, struktur, koherensi, maupun penuangan gagasan.
Comparing texts melibatkan para siswa dalam menulis kembali sebuah teks dengan mengubah variabel, tujuan, media, ungkapan bahasa, maupun sasarannya berdasar masukan yang disampaikan teman atau guru. Pemikiran yang komparatif dan kritis mendorong para siswa untuk menulis berdasar pengetahuan dan hasil interpretasi terhadap jenis teks (Hyland, 2004 : 138).
Seperti pada aktivitas-aktivitas pendahuluan, tugas-tugas yang diberikan kepada siswa membantu proses pembelajaran menulis. Tugas-tugas tersebut menolong siswa meningkatkan pengetahuan yang dibutuhkan dalam aktivitas pembelajaran. Peningkatan pengetahuan akan meningkatkan juga kompetensi menulis sebagai akibat dari penyelesaian tugas yang diberikan. Tugas-tugas itu membantu para siswa melihat sejauh mana kebiasaan yang mereka lakukan menghasilkan kompetensi yang dibutuhkan di bidang tulis-menulis.

E.Kelebihan Scaffolding Learning
Scaffolding learning memiliki sejumlah kelebihan. Kelebihan-kelebihan itu penting untuk dijadikan pertimbangan dalam pembelajaran bahasa. Kelebihan-kelebihan itu diuraikan dalam paparan berikut ini.
Pertama, scaffolding learning dapat mengatasi persoalan psikologis berupa kurangnya minat, motivasi, dan rasa percaya diri siswa. Keterbatasan psikologis ini perlu diketahui oleh guru. Guru harus dapat memengaruhi siswa: kapan dan bagaimana mereka dapat belajar melalui dorongan sehingga para siswa keluar dari keterbatasan itu. Dengan scaffolding learning, minat dan motivasi siswa dibangkitkan melalui tahapan pembelajaran yang sistematis. Mereka diajar bagaimana menulis tahap demi tahap. Mereka dibimbing untuk menguasai materi sekaligus proses menulis berdasar pada lembar kerja yang disediakan. Scaffolding learning selanjutnya diwujudkan dalam tugas terbimbing berupa pertanyaan dan perintah yang membantu mereka menyusun tulisannya. Tugas terbimbing akan mengurangi tingkat ketegangan siswa dalam melaksanakan pembelajaran.
Kedua, scaffolding learning menerapkan pola kerja sama dalam kelompok-kelompok pembelajaran. Kerja sama yang dilakukan dalam kelompok membantu memahami kekurangan maupun kelebihan diri dan orang lain. Kekurangan diri dapat dijadikan pendorong untuk belajar dari kelebihan orang lain. Sedangkan kelebihan yang dipunyai membantu mereka untuk bersimpati dan berempati terhadap kelemahan teman. Kelemahan maupun kelebihan dapat menciptakan kerja sama yang positif. Mereka bisa mengembangkan kemampuan secara bersama-sama di samping mengembangkan keterampilan individualnya.
Ketiga, scaffolding learning adalah semacam bimbingan yang diberikan oleh orang yang lebih tahu kepada orang yang kurang atau belum tahu. Orang yang lebih tahu dalam pemahaman ini tidak harus guru. Kelompok teman sebaya (peer teaching) menempatkan siswa yang pandai menjadi penolong bagi siswa lain yang kurang pandai. Teknik pembimbingan semacam ini lebih efektif dalam pembelajaran. Pembimbingan yang dilakukan sesama siswa tidak akan menimbulkan hambatan psikologis selama berlangsungnya proses belajar.
Keempat, scaffolding learning menempatkan peserta didik sebagai susunan sebuah bangunan yang melambangkan kemampuan-kemampuan kognitifnya. Bangunan diawali dengan bagian paling bawah, berupa pondasi kemampuan yang sudah dikuasai dan bisa dilakukan oleh pembelajar. Bagian berikutnya adalah bangunan yang harus diletakkan di atas dasar yang telah dikuasai tersebut. Selanjutnya akan diletakkan susunan lebih tinggi sesuai dengan tingkat kekompleksan yang lebih rumit.
Guru menyediakan perancah (scaffold) untuk menyokong bangunan. Diawali dengan hal dasar, ditingkatkan menuju ke suasana dan situasi baru yang sebelumnya tidak dikenal. Perancah berupa lingkungan yang guru ciptakan di tengah-tengah pembelajaran berbentuk sarana pendukung pengajaran, aktivitas mengajar belajar, serta bentuk-bentuk perintah untuk mendorong penyelesaian tugas dan pengembangan kemampuan mereka. Di samping itu, latihan-latihan dan penugasan dengan model perancah memberi bekal pengetahuan sekaligus keterampilan yang bertahap. Setiap tahapan memberi pengalaman hidup yang relatif tetap sehingga keterampilan itu dapat digunakan ketika diperlukan.
Kelima, scaffolding learning secara khusus meliputi perancangan, diskusi, pengajaran yang eksplisit, dan masukan yang berarti dari seorang guru. Semuanya itu untuk membantu para pembelajar menguasai kompetensi yang seharusnya dicapai. Tingkat campur tangan guru dalam berbagai macam kegiatan memainkan peran utama dalam penulisan scaffolding. Hal itu menunjukkan bahwa serangkaian dukungan terhadap kegiatan menulis akan meningkatkan kompetensi siswa. Aktivitas yang awalnya terkendali akan berpengaruh baik terhadap penulisan teks panjang dan terperinci secara mandiri.
Kenam, scaffolding learning melatih siswa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Hal ini dapat terjadi melalui pola belajar yang berlangsung. Bimbingan yang diberikan pada tahap awal pembelajaran dilakukan secara ketat kemudian secara berangsur-angsur bimbingan dikurangi dan akhirnya peserta didik diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk melanjutkan proses belajarnya.
Ketujuh, scaffolding learning dapat meningkatkan keterampilan berbahasa yang lain. Dalam kegiatan pembelajaran menulis, mereka juga membaca dan memahami tulisan siswa lain. Kemampuan membaca para siswa tentu juga meningkat. Kegiatan pembimbingan terhadap siswa lain dilakukan dengan berbicara. Berarti, mereka juga akan mengalami peningkatan keterampilan berbicaranya. Adapun bagi yang mendapatkan bimbingan, mereka akan belajar bagaimana menyimak yang baik. Dalam konsep ini, ilmu pengetahuan yang dimiliki peserta didik adalah sebuah hasil alamiah dari proses pertumbuhan. Pengetahuan itu dapat dibangun secara sosial dan kultural di lingkungan tempat mereka tinggal.
Kedelapan, interaksi yang terjadi dalam penerapan scaffolding learning mengembangkan kemampuan kognitif baru di bawah bimbingan guru. Pembimbingan dapat dilakukan melalui interaksi yang berorientasi pada tugas. Berdasar pertimbangan tertentu, seorang guru akan memberi berbagai tingkatan bantuan sampai seorang siswa menyelesaikan tugasnya. Tujuannya adalah memberi pengalaman sebanyak mungkin kepada siswa melakukan kegiatan secara mandiri. Guru akan turun tangan dan memberikan bantuan kepada siswa ketika dibutuhkan sehingga tugas dapat diselesaikan dengan hasil baik.
Kesembilan, para siswa perlu melibatkan diri dalam tugas-tugas yang menantang. Dengan bantuan yang tepat mereka dapat menyelesaikan tugasnya. Pengajaran dengan scaffolding learning menempatkan guru sebagai pendamping dan pendidik siswa. Dengan penuh perhatian, guru menggantikan peran orang tua. Peran yang dimaksudkan adalah melakukan bantuan dan pendampingan selama para siswa belajar.

DAFTAR PUSTAKA


Australian Government. 2002. “Scaffolding Learning”. Department of Education Science and Training. http: // mail. google.com/mail/?ui=1& realattid = f_f03he83p0&attid=0.1&disp=vah& view = a … (diunduh Sabtu, 2 Agustus 2008).

Axford, Beverley. 2007. “Parent and Their Children Working Together: A Scaffolding Literacy Case Study”. Australian Journal of Language and Literacy. Vol 30, No. 1, 2007, pp. 21 – 39.

Cagiltay, Kursat. 2006. “Scaffolding Strategis in Elektronic Performance Support System: Types and Chalenges”. Inovation in Education and Teaching International. Vol. 43, No. 1, February 2006, pp. 93 – 103.

Hyland, Ken. 2004. Genre and Second Language Writing. Michigan : The University of Michigan Press.

NCREL. 2008. “Scaffolding”. http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/students/ learning/lr1scaf.htm. (diunduh Senin, 14 Januari 2008).