Rabu, 27 April 2011

डोमबा paskah

Lihatlah Manusia Itu!
Yohanes 19:5

Lalu Yesus keluar, bermahkota duri dan berjubah ungu. Maka kata Pilatus kepada mereka: "Lihatlah Manusia itu!"


Mesin waktu membawa tiga orang jemaat GKJ Wonogiri Utara (GKJ WU) menghadiri sidang rakyat yang dilakukan Pilatus. Disebut sidang rakyat karena pengadilan terhadap Yesus tidak di ruang pengadilan tetapi di depan gedung pengadilan. Disebut sidang rakyat karena yang hadir di persidangan adalah masyarakat dengan jumlah yang sangat banyak dan dari berbagai kalangan.
Satu dari tiga orang jemaat GKJ WU mulai tidak kuasa menahan air mata. Rasa trenyuh , iba, kasihan, mulai menguasai hati dan perasaannya. Baru beberapa hari lalu orang meneriakkan hosana...hosana sebagai tanda hormat. Hari ini orang banyak meneriakkan salibkan...salibkan. Bukan sekadar teriakan. Sesahan, tamparan, pukulan, dan tusukan duri menjadi siksaan fisik yang tidak ringan. Sungguh-sungguh menyakitkan. Penderitaan fisik dan psikis mahahebat yang dialami Yesus membuat jemaat GKJ WU itu tidak kuasa melanjutkan melihat dan mendengar siksaan itu. Ia hanya ternganga. Tidak percaya ada orang-orang yang sedemikian kejam perlakuannya kepada orang lain.
Jemaat kedua merasakan hal yang berbeda. Hatinya mulai bertanya-tanya. Banyak orang yang terbakar emosi hingga tega berbuat kejam kepadaorang lain. Pasti orang sebanyak itu punya alasan yang kuat sehingga memperlakukan Yesus sedemikian sadis. Jangan-jangan orang banyak itu benar dengan apa yang dilakukannya. Psikologi dan emosi massa mulai memengaruhi anggota jemaat GKJ WU itu. Ia mulai ragu akan keyakinannya selama ini. Keraguan dan kebimbangan mulai menyergap imannya. Dalam kegundahan, ia menyaksikan kelanjutan kisah pengadilan itu.
Jemaat ketiga juga punya tanggapan berbeda daripada kedua temannya. Ia terkesan begitu menikmati peristiwa yang berada di depan matanya. Kadang dahinya mengernyit. Kadang mulutnya memulur. Kadang rahangnya mengeras. Kadang matanya sedikit membelalak. Ia seperti sedang nonton sebuah film tragedi. Cerita yang mendasari film membuatnya takjub. Ia melihat semuanya itu tidak lebih sekadar tontonan yang berusaha menghiburnya.
Apa yang terjadi pada diri kita? Kisah penyaliban itu kembali hadir di hadapan kita. Kita tidak memakai mesin waktu yang membawa langsung ke peristiwa itu. Kita hari ini mengenang kembali peristiwanya. Sayup-sayup kata-kata Pilatus kita dengar, “Lihatlah manusia itu!”. Apa yang kita lihat? Sekadar trenyuh, iba, kasihan. Apakah kita juga mulai mempertanyakan keyakinan kita? Atau kita mulai menganggap kisah itu sebagai sebuah hiburan semata?
Seorang pendeta, penyair, sekaligus Sekjen PGI, Fridolin Ukur pernah menulis puisi Domba Paskah. Baris-baris puisinya demikian, Kebencian, dendam dan dengki/ditudingkan pada-Nya/ai, gampang sekali/dia ‘kan Cuma si anak domba// kegagalan, kemurungan dan kecewa/ditimpakan atas pundak-Nya/memang enak saja/ si anak domba tak buka suara// tangan-tangan rakus tambah serakah/jari-jari berkuku tajam penuh bisa/seperti anjing-anjing kelaparan/rebutan tulang-tulang sisa/merobek-robek sang domba paskah// betapa hitamnya salah dituduhkan kepada-Nya/Ia singa, Ia serigala/Ia penghujat, Ia pendosa!// Padahal Ia-lah si anak domba/Penanggung segala bencana!/pada tatapan mata-Nya/terkaca segala yang sempurna: cinta!// (Fridolin Ukur, dalam Horison-XXXIX/2005).

Apapun yang kita bayangkan. Apapun yang kita saksikan dalam khayalan kita. Yesus yang diadili itu adalah Sang Anak Domba. Dia adalah penanggung segala bencana tragedi kemanusiaan yang dialaminya. Bayangkanlah tatapan mata-Nya saat mengalami siksaan. Bukan kebencian, bukan dendam, bukan kesumat yang minta pembalasan. Tetapi mata itu hanya menyinarkan kasih. Cinta-Nya kepada manusia. Bagi kita para pendosa.
Lihatlah manusia itu. Manusia yang penuh sifat welas asih. Teladanilah.

पेनुतुपन April

Metafora Bahtera Nuh
Kajadian 7: 1- 4

7:1 Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Nuh: "Masuklah ke dalam bahtera itu, engkau dan seisi rumahmu, sebab engkaulah yang Kulihat benar di hadapan-Ku di antara orang zaman ini. 7:2 Dari segala binatang yang tidak haram haruslah kauambil tujuh pasang, jantan dan betinanya, tetapi dari binatang yang haram satu pasang, jantan dan betinanya; 7:3 juga dari burung-burung di udara tujuh pasang, jantan dan betina, supaya terpelihara hidup keturunannya di seluruh bumi. 7:4 Sebab tujuh hari lagi Aku akan menurunkan hujan ke atas bumi empat puluh hari empat puluh malam lamanya, dan Aku akan menghapuskan dari muka bumi segala yang ada, yang Kujadikan itu."


Ibu Bapak tentu sudah sangat akrab dengan kisah Nuh dan bahteranya. Bahtera yang dibuat di tengah ketidaklogisan itu menjadi penyelamat Nuh, keluarga, dan berbagai makhluk hidup yang lainnya. Bahtera dari kayu gofir itu berpetak-petak, ditutup dengan pakal dari luar dan dari dalam, pintunya ada pada lambungnya, bertingkat bawah, tengah, dan atas. Semua itu dibangun dengan memerhatikan faktor kebutuhan dan keselamatan. Konsep savety first menjadi hal utama. Dan, kita semua tahu cerita selanjutnya. Semua yang berada di dalam bahtera akhirnya selamat.

Ibu Bapak, hari ini saya akan menyampaikan bagian yang belum Ibu Bapak ketahui. Konon, bahtera itu suatu ketika dipakai dalam pelayaran nostalgia. Semacam pelayaran wisata menikmati kejayaan masa lampau. Tetapi, tanpa sepengetahuan dari mereka yang sedang menikmati hidup, bahtera itu ternyata menjadi sarang beberapa jenis binatang. Beberapa binatang itu ada yang termasuk pengerat. Ada tikus, tupai, berang-berang, dan beberapa jenis burung pelatuk.

Pelayaran wisata itu berlangsung sangat lama, hampir seperti peristiwanya, Nuh berumur enam ratus tahun sampai enam ratus satu tahun. Seiring dengan lamanya waktu pelayaran, beberapa binatang mulai mengerat papan-papan kayu bahtera. Bukan dengan tujuan tertentu tetapi sesuai kodratnya, pengerat kalau tidak mengerat bukan pengerat. Sementara itu, burung pelatuk mulai mematuk tiang-tiang kayu bahtera. Masa kawin memaksanya untuk segera membuat sarang.

Bisa kita bayangkan. Lama-kelamaan, muncul lubang di dinding bahtera. Tanpa disadari, bahtera yang awalnya menjadi penyelamat itu menjadi tempat kematian seluruh penumpangnya.

Ibu Bapak, kisah lanjutan bahtera Nuh hanyalah metafora. Seperti kebiasaan Tuhan Yesus mengajar dengan perumpamaan, bahtera Nuh adalah perumpamaan. Biasanya kita mendengar pengajaran yang meninabobokan. Sering kita mendengar pengajaran yang menenteramkan. Tetapi hari ini, kita belajar hal yang tidak enak. Kita tidak sedang minum susu. Kita akan makan sesuatu yang lebih keras.

Mari kita belajar dari bahtera Nuh ini. Sekolah ini ibarat bahtera Nuh di pelayaran kedua. Ada yang ingin menikmati suasana yang nyaman, ada yang ingin menikmati kejayaan masa lampau, ada yang ingin bernostalgia. Tanpa kita sadari kita juga mulai mengerat karena dalam diri kita memang ada sifat. Tanpa kita sadari pula kita mulai mematuk-matuk untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Kepentingan lebih besar untuk melakukan tugas dan tanggung jawab secara baik mulai tidak kita penuhi.

Mungkin kita berpikir, bahwa yang kita lakukan hanya perkara kecil. Ah hanya administrasi guru. Ah hanya administrasi kepala sekolah. Ah hanya administrasi tu. Dan ah-ah yang lain. Tidak memenuhi administrasi itu perbuatan koruptif. Mulanya memang sekadar ah-ah itu yang kita anggap hal kecil. Tetapi ah-ah itu akan terakumulasi menjadi sifat yang korup yang lebih besar.

Sekolah ini organisasi. Seperti halnya dengan bahtera Nuh, tidak boleh ada keratan-keratan sekecil apa pun. Apalagi gerogotan-gerogotan dengan alasan kepentingan tertentu. Ingatlah harga yang harus di bayar adalah tenggelamnya bahtera organisasi ini. Di bahtera ini ada banyak yang berlindung, isteri, suami, anak-anak, dan naggota keluarga yang lain.

Sebelum terlambat, sifat-sifat pengerat harus kita buang jauh-jauh. Sebelum terlambat kita buang jauh-jauh hasrat menggerogoti organisasi. Karena kalau sudah mulai tenggelam Ibu Bapak harus siap membayar harganya. Amin.