Laki-laki yang
Menyapu Halaman di Sore Hari
Matahari perlahan-lahan turun. Bayangan
pepohonan mulai menelannya. Daun-daun bambu yang melambai-lambai menghalangi
sorot jingganya, tetapi tak mampu menyembunyikan sisa hangatnya. Angin kering
dan lembab berhembus. Gelap pun datang
bersama alunan adzan magrib. Semayup. Ritmis. Seorang laki-laki menyapu halaman
rumah di sore itu.
Laki-laki paruh baya, tetangga samping rumahku segera
mengambil sapu ijuk bergagang kayu. Dan mulailah ia membersihkan halaman rumahnya
itu. Daun pohon mangga, daun pohon kelengkeng, sisa-sisa pasaran anaknya,
plastik bungkus permen, semua dikumpulkannya. Dengan pengki terbuat dari seng
bekas wadah roti Khong Guan yang dibelinya di pasar, sampah-sampah itu
dibuangnya ke sawah di depan rumahnya. Dicampakkannya begitu saja. Biasanya
sampah-sampah itu dibakarnya di malam hari. “Untuk mengusir nyamuk.” Begitu
pernah dikatakannya kepadaku suatu hari.
Mengenai daun pohon mangga. Ya. Ada
dua batang pohon mangga di halaman rumahnya. Pohon mangga yang ditanamnya
sebagai peneduh karena jika siang hari
matahari membakar serambi rumah dengan teriknya. Daun-daunnya yang rimbun
menyerupai payung raksasa menaungi halaman rumahnya. Bukan halaman sebenarnya.
Karena halaman itu adalah jalan di depan rumah. Rumah ukuran 21 tak pernah
memiliki halaman. Untuk mencukupi kebutuhan ruangan, bangunan rumah dengan
rakusnya melahap sisa lahan yang ada. Hingga tak bersisa sejengkal pun. Batas
antara rumah dan jalan hanyalah pagar. Dan jadilah jalan di depan rumah
sekaligus menjadi halamannya. Tetapi di seberang jalan depan rumahnya itu
memang sangat luas. Rumahnya yang berada di deretan paling bawah dan paling
pinggir memungkinkannya bertanam. Beberapa pohon buah membuat suasana nyaman
dan teduh. Tanaman hias memanjakan mata penghuni rumah dan siapapun yang
melintas atau singgah dengan warna-warni dan hijau segarnya.
Mangga yang ditanamnya jenis mangga
madu. Setiap tahun berbuah sangat lebat. Bahkan beberapa kali musim ada saja dahan
yang terpaksa dipangkas. Mangga bergantungan seperti ada festival makan mangga
sepanjang jalan. Banyaknya buah telah mengganggu perjalanan tetangga yang
memiliki mobil. Mangga-mangga sekepalan tangan orang dewasa yang bergelantungan
di atas jalan membahayakan kaca kendaraan yang lewat. Kalau dibiarkan akan
mengganggu hubungan social bertetangga. Mungkin saja akan menjadi sumber perang
dingin dengan orang seperumahan. Bahkan bisa sumber konflik terbuka seperti
yang terjadi di gang atas. Meski belum saatnya panen terpaksa buah-buah itu
direlakan. Dahan dengan buah yang lebat beberapa kali di pangkas. Semuanya
untuk menjaga harmoni. Tetangga adalah saudara paling dekat. Tetapi sebaliknya,
bisa menjadi musuh terdekat tanpa sekat. Tentu saja yang kemudia mendapat keuntungan lebih adalah Mardi. Tetangga lain
RT yang memelihara kambing dan masih memasak dengan kayu bakar. Dahan-dahan dan
ranting-ranting pangkasan pohon itu dikumpulkannya untuk kayu bakar. Daun-daun
dan buah manga yang masih muda itu pun dibawanya pulang untuk makanan kambing.
Buah mangga bagi laki-laki yang
menyapu halaman dengan sapu ijuk bukan sekadar buah mangga. Buah mangga telah dijadikannya
semacam alat diplomasi dengan para tetangga. Diplomasi? Ya.
Tak ada yang lebih efektif untuk menjalin kedamaian di perumahan itu. Setiap
panen mangga semua tetangga akan mendapatkan bagian masing-masing. Satu tas
kresek mangga. Tak terkecuali. Bahkan mereka yang tidak berada di rumah saat
panen atau saat pembagian hasil panen. Mereka tetap mendapat bagian. Jika
pemilik rumah pulang dari piknik atau dari manapun, mereka akan menjumpai sekresek
mangga ranum di pagar rumah. Atau di handle
pintu rumah. Tanpa pesan. Dan semua tetangga sudah hafal dengan kebiasaan
laki-laki yang menyapu halaman di sore hari. Pagi harinya, atau siang harinya,
atau sore harinya, atau bahkan pada malam harinya, atau kapan pun saat tetangga
bertemu dengan laki-laki itu mereka akan menyampaikan ucapan terima kasih.
“Terima kasih kiriman mangganya, Pak. Langsung ludes lho kemarin itu. Manis.
Anak-anak menyukainya.” Begitu antara lain ungkapan tetangga yang mendapat
kiriman mangga.
Laki-laki yang menyapu halaman di sore
hari. Kegiatan laki-laki paruh baya itu seperti ritual saja layaknya. Setiap
sore. Setiap adzan magrib. Setiap matahari perlahan turun. Saat daun-daunan
bambu menghalangi sorotnya. Sapu ijuk yang dibelinya dua bulan lalu sudah makin
jarang ijuknya. Bahkan tali rafia yang mengikatnya sudah berubah warna.
“Indonesia tanah air beta pusaka abadi
nan jaya.” Nyanyian itu selalu mengiringi tangannya yang mengayunkan sapu ijuk.
Suaranya bariton. Dengan timbre berat. Ada semacam getaran kuat karena nyanyian
itu diungkapkannya sebagai doa. Atau bahkan seperti mantra yang mengiringi
aktivitasnya. Kecintaannya pada tanah air seperti mendapatkan nadinya lewat
syair itu. Ekspresi perasaan yang sangat pribadi.
Laki-laki dengan sapu ijuk. Aku
seharusnya meminta maaf. Sebagai tetangga samping rumah aku tak pernah tahu
namanya. “ Sore, Pak.” Itu sapaan standar yang selalu keluar dari bibirku
setiap kali, tanpa sengaja tentunya, berada di depan rumah. “Terima kasih,
Pak.” Begitu yang aku ucapkan setiap bertemu dengannya setelah mendapat kiriman
mangga ranum. Dan apa jawabannya? “Nggih.”
Bahasa Jawa. Sopan. Dan jawaban itu seperti memaksa kami tidak melanjutkan
percakapan. Singkat. Selalu dirasa cukup.
Kabarnya kebiasaannya menyapu halaman
di sore hari sudah dilakukannya sejak pertama pindah ke perumahan ini.
Kabarnya. Karena aku sendiri tidak tahu sejak awal. Aku baru beberapa tahun
menjadi tetangganya. Kebiasaannya menyapu di sore hari berbeda dengan kebiasaan
Saleh, juga tetanggaku, guru sebuah SMK Negeri di kotaku. Pak Guru Saleh punya
kebiasaan menyapu halaman di pagi hari, setelah subuhan. Itu pun dilakukannya
dengan sapu lidi. Sapu lidi bergagang bambu panjang. Sreg …sreg…sreg…Suaranya
nyaring di pagi yang masih sepi dan dingin. Saleh memang punya waktu lebih
panjang untuk menyapu halamannya, bukan halaman tetapi jalan yang sekaligus
halaman, sebelum ke kantor. Kantor itu hanya beberapa kayuhan sepeda angin
jaraknya. Memang banyak perbedaan antara Pak Saleh dengan laki-laki yang
menyapu halaman di sore hari saat masjid mengumandangkan adzan magrib.
Laki-laki yang menyapu halaman setiap
sore berangkat kerja pada pukul 5 pagi. Kokok ayam masih bersahutan di
sana-sini seperti sesahutan paduan suara. Masih pagi. Bahkan anaknya yang
bungsu pun belum bangun tidur. Dia hanya mencium keningnya sebentar. Mencium
isterinya. Dan mendapat ciuman tangan dari anaknya yang kedua. “Berangkat pagi
lebih lancar. Udara masih segar. Dan tidak kemrungsung.
Tidak tergesa-gesa.” Itu dikatakannya ketika ibu-ibu yang pulang subuhan
menyapanya suatu pagi. Tempat kerjanya yang 30 km dari rumah mengharuskannya ke
kantor mruput. Dengan menumpang bus
antarkota, ia menjalani aktivitas rutinnya setiap hari. Itulah mengapa
laki-laki yang seluruh rambutnya mulai memutih selalu menyapu halaman di sore
hari.
Belakangan ini ia terlihat makin rajin
menyapu halaman di sore hari. Saat matahari perlahan turun. Ketika dedaunan
bambu menghalangi sorotnya tetapi tak kuasa menahan sisa hangatnya. Saat adzan
magrib sayup-sayup terdengar dari loudspeaker masjid An-Nur di
perumahanku.
Menurut beberapa tetangga, laki-laki
itu makin rajin menyapu halaman di sore hari karena dia bisa makin sering
menyenandungkan lagu “Indonesia tanah air beta pusaka abadi nan jaya.” Syair lagu yang adalah doa, bahkan mantra
itu menjadi semacam ramuan ajaib yang bisa
sedikit mengobati kerinduannya pada Si Sulung. Oh ya. Laki-laki yang menyapu
halaman di sore hari itu punya tiga anak gadis. Si Sulung hampir setahun yang
lalu berangkat ke Tiongkok. Beasiswa belajar dari pemerintah Tiongkok membuat
mimpinya kuliah bahasa Mandarin terwujud.
“Ah. Berkat Tuhan.” Begitu kata-kata
yang meluncur dari bibir laki-laki itu setiap kali ada tetangga yang
mengucapkan selamat karena anaknya berhasil kuliah di luar negeri. “Doanya
terkabul.” Kalimat ini hanyalah variasi jawaban kalau ada dua atau lebih orang
memberinya simpati. Atau, “Keinginan anaknya sudah mantheng, dan Tuhan menghargai kesungguhannya.”
Hari itu Minggu, 9 Maret. Sudah dua hari ini
laki-laki setengah baya dengan rambut yang hampir putih semua tidak menyapu
halaman, yang sebenarnya adalaha jalan, seperti biasanya. Saat dedaunan bambu
menghalangi sinar matahari tetapi tak mampu menghalangi hangatnya. Saat adzan
magrib sayup-sayup terdengar dari loudspeaker
masjid An-Nur. Tidak ada lambaian sapu ijuk bergagang kayu. Tak ada senandung
“Indonesia tanah air beta pusaka abadi nan jaya”. Istriku mendengar kabar dari ibu-ibu RT saat
arisan bulanan tanggal 7. Laki-laki itu tak kuasa lagi menahan kerinduannya
pada Si Sulung. Tekadnya sudah bulat untuk mengunjungi anaknya itu. Istri dan
dua anaknya mendukung. Izin kepada atasannya sudah diperoleh. Perlengkapan
perjalanan sudah digenggamnya. Tanggal 8 Maret dia berangkat ke Tiongkok.
Tidak ada yang tahu mengapa laki-laki yang
menyapu halaman di sore hari memilih penerbangan dari Kuala Lumpur Malaysia ke
Beijing. Tidak ada yang tahu mengapa laki-laki berambut hampir putih semua
memilih pesawat MH370 Malaysia Airlines. Hari ini. Ya. Hari ini, Kamis 8 Mei.
Dua bulan sejak keberangkatan laki-laki tetangga sebelah rumahku. Matahari masih saja turun perlahan-lahan.
Bayangan pepohonan tetap menelannya. Daun-daun bambu yang melambai menghalangi
sorot jingganya, tak kuasa menyembunyikan sisa hangatnya. Angin sore ini kering
dan lembab berhembus. Gelap pun datang ditemani alunan adzan magrib. Semayup.
Ritmis. Sayup-sayup suara bariton laki-laki yang menyapu halaman rumah di sore
itu menyenandungkan “Indonesia tanah air beta pusaka abadi nan jaya”.