Jumat, 23 Mei 2014

cerpen

Laki-laki yang Menyapu Halaman di Sore Hari

Matahari perlahan-lahan turun. Bayangan pepohonan mulai menelannya. Daun-daun bambu yang melambai-lambai menghalangi sorot jingganya, tetapi tak mampu menyembunyikan sisa hangatnya. Angin kering dan lembab berhembus.  Gelap pun datang bersama alunan adzan magrib. Semayup. Ritmis. Seorang laki-laki menyapu halaman rumah di sore itu.
Laki-laki  paruh baya, tetangga samping rumahku segera mengambil sapu ijuk bergagang kayu. Dan mulailah ia membersihkan halaman rumahnya itu. Daun pohon mangga, daun pohon kelengkeng, sisa-sisa pasaran anaknya, plastik bungkus permen, semua dikumpulkannya. Dengan pengki terbuat dari seng bekas wadah roti Khong Guan yang dibelinya di pasar, sampah-sampah itu dibuangnya ke sawah di depan rumahnya. Dicampakkannya begitu saja. Biasanya sampah-sampah itu dibakarnya di malam hari. “Untuk mengusir nyamuk.” Begitu pernah dikatakannya kepadaku suatu hari.
Mengenai daun pohon mangga. Ya. Ada dua batang pohon mangga di halaman rumahnya. Pohon mangga yang ditanamnya sebagai peneduh karena  jika siang hari matahari membakar serambi rumah dengan teriknya. Daun-daunnya yang rimbun menyerupai payung raksasa menaungi halaman rumahnya. Bukan halaman sebenarnya. Karena halaman itu adalah jalan di depan rumah. Rumah ukuran 21 tak pernah memiliki halaman. Untuk mencukupi kebutuhan ruangan, bangunan rumah dengan rakusnya melahap sisa lahan yang ada. Hingga tak bersisa sejengkal pun. Batas antara rumah dan jalan hanyalah pagar. Dan jadilah jalan di depan rumah sekaligus menjadi halamannya. Tetapi di seberang jalan depan rumahnya itu memang sangat luas. Rumahnya yang berada di deretan paling bawah dan paling pinggir memungkinkannya bertanam. Beberapa pohon buah membuat suasana nyaman dan teduh. Tanaman hias memanjakan mata penghuni rumah dan siapapun yang melintas atau singgah dengan warna-warni dan hijau segarnya.  
Mangga yang ditanamnya jenis mangga madu. Setiap tahun berbuah sangat lebat. Bahkan beberapa kali musim ada saja dahan yang terpaksa dipangkas. Mangga bergantungan seperti ada festival makan mangga sepanjang jalan. Banyaknya buah telah mengganggu perjalanan tetangga yang memiliki mobil. Mangga-mangga sekepalan tangan orang dewasa yang bergelantungan di atas jalan membahayakan kaca kendaraan yang lewat. Kalau dibiarkan akan mengganggu hubungan social bertetangga. Mungkin saja akan menjadi sumber perang dingin dengan orang seperumahan. Bahkan bisa sumber konflik terbuka seperti yang terjadi di gang atas. Meski belum saatnya panen terpaksa buah-buah itu direlakan. Dahan dengan buah yang lebat beberapa kali di pangkas. Semuanya untuk menjaga harmoni. Tetangga adalah saudara paling dekat. Tetapi sebaliknya, bisa menjadi musuh terdekat tanpa sekat. Tentu saja yang kemudia mendapat  keuntungan lebih adalah Mardi. Tetangga lain RT yang memelihara kambing dan masih memasak dengan kayu bakar. Dahan-dahan dan ranting-ranting pangkasan pohon itu dikumpulkannya untuk kayu bakar. Daun-daun dan buah manga yang masih muda itu pun dibawanya pulang untuk makanan kambing.
Buah mangga bagi laki-laki yang menyapu halaman dengan sapu ijuk bukan sekadar buah mangga. Buah mangga telah dijadikannya semacam alat diplomasi dengan para tetangga. Diplomasi?   Ya. Tak ada yang lebih efektif untuk menjalin kedamaian di perumahan itu. Setiap panen mangga semua tetangga akan mendapatkan bagian masing-masing. Satu tas kresek mangga. Tak terkecuali. Bahkan mereka yang tidak berada di rumah saat panen atau saat pembagian hasil panen. Mereka tetap mendapat bagian. Jika pemilik rumah pulang dari piknik atau dari manapun, mereka akan menjumpai sekresek mangga ranum di pagar rumah. Atau di handle pintu rumah. Tanpa pesan. Dan semua tetangga sudah hafal dengan kebiasaan laki-laki yang menyapu halaman di sore hari. Pagi harinya, atau siang harinya, atau sore harinya, atau bahkan pada malam harinya, atau kapan pun saat tetangga bertemu dengan laki-laki itu mereka akan menyampaikan ucapan terima kasih. “Terima kasih kiriman mangganya, Pak. Langsung ludes lho kemarin itu. Manis. Anak-anak menyukainya.” Begitu antara lain ungkapan tetangga yang mendapat kiriman mangga.
Laki-laki yang menyapu halaman di sore hari. Kegiatan laki-laki paruh baya itu seperti ritual saja layaknya. Setiap sore. Setiap adzan magrib. Setiap matahari perlahan turun. Saat daun-daunan bambu menghalangi sorotnya. Sapu ijuk yang dibelinya dua bulan lalu sudah makin jarang ijuknya. Bahkan tali rafia yang mengikatnya sudah berubah warna.
“Indonesia tanah air beta pusaka abadi nan jaya.” Nyanyian itu selalu mengiringi tangannya yang mengayunkan sapu ijuk. Suaranya bariton. Dengan timbre berat. Ada semacam getaran kuat karena nyanyian itu diungkapkannya sebagai doa. Atau bahkan seperti mantra yang mengiringi aktivitasnya. Kecintaannya pada tanah air seperti mendapatkan nadinya lewat syair itu. Ekspresi perasaan yang sangat pribadi.  
Laki-laki dengan sapu ijuk. Aku seharusnya meminta maaf. Sebagai tetangga samping rumah aku tak pernah tahu namanya. “ Sore, Pak.” Itu sapaan standar yang selalu keluar dari bibirku setiap kali, tanpa sengaja tentunya, berada di depan rumah. “Terima kasih, Pak.” Begitu yang aku ucapkan setiap bertemu dengannya setelah mendapat kiriman mangga ranum. Dan apa jawabannya? “Nggih.” Bahasa Jawa. Sopan. Dan jawaban itu seperti memaksa kami tidak melanjutkan percakapan. Singkat. Selalu dirasa cukup.
Kabarnya kebiasaannya menyapu halaman di sore hari sudah dilakukannya sejak pertama pindah ke perumahan ini. Kabarnya. Karena aku sendiri tidak tahu sejak awal. Aku baru beberapa tahun menjadi tetangganya. Kebiasaannya menyapu di sore hari berbeda dengan kebiasaan Saleh, juga tetanggaku, guru sebuah SMK Negeri di kotaku. Pak Guru Saleh punya kebiasaan menyapu halaman di pagi hari, setelah subuhan. Itu pun dilakukannya dengan sapu lidi. Sapu lidi bergagang bambu panjang. Sreg …sreg…sreg…Suaranya nyaring di pagi yang masih sepi dan dingin. Saleh memang punya waktu lebih panjang untuk menyapu halamannya, bukan halaman tetapi jalan yang sekaligus halaman, sebelum ke kantor. Kantor itu hanya beberapa kayuhan sepeda angin jaraknya. Memang banyak perbedaan antara Pak Saleh dengan laki-laki yang menyapu halaman di sore hari saat masjid mengumandangkan adzan magrib. 
Laki-laki yang menyapu halaman setiap sore berangkat kerja pada pukul 5 pagi. Kokok ayam masih bersahutan di sana-sini seperti sesahutan paduan suara. Masih pagi. Bahkan anaknya yang bungsu pun belum bangun tidur. Dia hanya mencium keningnya sebentar. Mencium isterinya. Dan mendapat ciuman tangan dari anaknya yang kedua. “Berangkat pagi lebih lancar. Udara masih segar. Dan tidak kemrungsung. Tidak tergesa-gesa.” Itu dikatakannya ketika ibu-ibu yang pulang subuhan menyapanya suatu pagi. Tempat kerjanya yang 30 km dari rumah mengharuskannya ke kantor mruput. Dengan menumpang bus antarkota, ia menjalani aktivitas rutinnya setiap hari. Itulah mengapa laki-laki yang seluruh rambutnya mulai memutih selalu menyapu halaman di sore hari.
Belakangan ini ia terlihat makin rajin menyapu halaman di sore hari. Saat matahari perlahan turun. Ketika dedaunan bambu menghalangi sorotnya tetapi tak kuasa menahan sisa hangatnya. Saat adzan magrib sayup-sayup terdengar dari  loudspeaker masjid An-Nur di perumahanku.
Menurut beberapa tetangga, laki-laki itu makin rajin menyapu halaman di sore hari karena dia bisa makin sering menyenandungkan lagu “Indonesia tanah air beta pusaka abadi nan jaya.”    Syair lagu yang adalah doa, bahkan mantra itu  menjadi semacam ramuan ajaib yang bisa sedikit mengobati kerinduannya pada Si Sulung. Oh ya. Laki-laki yang menyapu halaman di sore hari itu punya tiga anak gadis. Si Sulung hampir setahun yang lalu berangkat ke Tiongkok. Beasiswa belajar dari pemerintah Tiongkok membuat mimpinya kuliah bahasa Mandarin terwujud.
“Ah. Berkat Tuhan.” Begitu kata-kata yang meluncur dari bibir laki-laki itu setiap kali ada tetangga yang mengucapkan selamat karena anaknya berhasil kuliah di luar negeri. “Doanya terkabul.” Kalimat ini hanyalah variasi jawaban kalau ada dua atau lebih orang memberinya simpati. Atau, “Keinginan anaknya sudah mantheng, dan Tuhan menghargai kesungguhannya.”
 Hari itu Minggu, 9 Maret. Sudah dua hari ini laki-laki setengah baya dengan rambut yang hampir putih semua tidak menyapu halaman, yang sebenarnya adalaha jalan, seperti biasanya. Saat dedaunan bambu menghalangi sinar matahari tetapi tak mampu menghalangi hangatnya. Saat adzan magrib sayup-sayup terdengar dari loudspeaker masjid An-Nur. Tidak ada lambaian sapu ijuk bergagang kayu. Tak ada senandung “Indonesia tanah air beta pusaka abadi nan jaya”.  Istriku mendengar kabar dari ibu-ibu RT saat arisan bulanan tanggal 7. Laki-laki itu tak kuasa lagi menahan kerinduannya pada Si Sulung. Tekadnya sudah bulat untuk mengunjungi anaknya itu. Istri dan dua anaknya mendukung. Izin kepada atasannya sudah diperoleh.    Perlengkapan perjalanan sudah digenggamnya. Tanggal 8 Maret dia berangkat ke Tiongkok.

Tidak ada yang tahu mengapa laki-laki yang menyapu halaman di sore hari memilih penerbangan dari Kuala Lumpur Malaysia ke Beijing. Tidak ada yang tahu mengapa laki-laki berambut hampir putih semua memilih pesawat MH370 Malaysia Airlines. Hari ini. Ya. Hari ini, Kamis 8 Mei. Dua bulan sejak keberangkatan laki-laki tetangga  sebelah rumahku. Matahari masih saja turun perlahan-lahan. Bayangan pepohonan tetap menelannya. Daun-daun bambu yang melambai menghalangi sorot jingganya, tak kuasa menyembunyikan sisa hangatnya. Angin sore ini kering dan lembab berhembus. Gelap pun datang ditemani alunan adzan magrib. Semayup. Ritmis. Sayup-sayup suara bariton laki-laki yang menyapu halaman rumah di sore itu menyenandungkan “Indonesia tanah air beta pusaka abadi nan jaya”.

Selasa, 01 April 2014

imajinasi

Imajinasi 

Suatu pagi di sebuah SD Negeri
Ibu guru menawari murid-muridnya untuk
memimpin teman-temannya
Karena tidak ada yang sukarela bersedia
Ibu guru pun serta merta menunjuk seorang bocah
JO ... KO-WE 

Suatu pagi di sebuah SMP suatu nagari
Bapak guru meminta salah seorang muridnya 
memimpin teman-temannya
Karena tidak seorang pun yang bersedia
Bapak guru pun menunjuk seorang anak lelaki
JO ... KO-WE

Suatu pagi di sebuah SMA Negeri di nagari
Seorang Ibu guru menawari siswanya 
jadi pemimpin di antara temannya
Karena tidak seorang pun yang sanggup
Ibu guru pun menyilakan satu siswa tampil
JO ... KO-WE

Suatu hari di Universitas ternama di Yogyakarta
Seorang dosen meminta satu mahasiswa 
untuk mewakili teman-temannya
Karena tak satu pun yang maju
Dosen itu pun mendaulat seorang mahasiswa
JO ... KO-WE

Suatu pagi di Ibu Kota negeri
Seorang ibu penentu pemimpin negeri 
pemegang mandat yang terus dinanti
Dengan rela dan berbesar hati memberi perintah
JO ... KO-WE

Dan setiap hari media cetak menulis JO ... KO-WE
Dan setiap hari media visual menggambar JO ... KO-WE
Radio pun tak henti meneriakkan JO ... KO-WE
Pun di media sosial berseliweran tulisan JO ... KO-WE

(Maaf, teman-teman di luar negeri membacanya jadi JO ... KO ... WI)



(29 Maret 2014)

perayaan

perayaan

wajah pagi ini berseriseri
langit biru pun menghiasi remang pagi
riuh hentakan stakatis nyanyian kutilang
saat bulan pucat melambaiku riang
cerah

kabut pagi dingin menyambut
kilau embun di antara petakpetak berumput
lengking trill emprit ganthil sayup membelah
dan panjer esuk menatapku sumringah
meriah


(12 Maret 2014)

ziarah pagi

ziarah pagi

remang pagi mengantarkanku 
bayang dedaunan gunungponcol melambai 
lekuknya yang magis membuat perjalananku jadi mistis



(27 Februari 2014)

goyang di jalan berlubang

goyang di jalan berlubang


goyangsini goyangsana goyangsitu
selembar peringatan menulis:
awas pasang matamu

hindarsana hindarsini hindarsitu
sebuah imbauan terpampang:
hatihati sayangi kepalamu

liuksini liuksana liuksitu
peringatah pemerintah:
meliuk membunuhmu

(10 Februari 2014)

hadiah

Hadiah Tahun Baru

Rupiah terengah 
ada yang bilang gak pengaruh pada ekonomi

Elpiji melambung tinggi
ada yang bilang gak pengaruh terhadap inflasi
(4 Januari 2014)

Senin, 06 Januari 2014

tahun baru

hadiah tahun baru

rupiah terengah
ada yang bilang gak pengaruh pada ekonomi

elpiji melambung tinggi
ada yang bilang gak pengaruh pada inflasi

hidup hanya sebatas
kalkulasi angkaangka