Jumat, 25 Maret 2016

Gangsal Atus Mawon



Gangsal Atus Mawon

Hari semakin siang. Mendung hitam menggayut. Sebentar lagi pasti akan turun hujan yang sangat lebat. Bergegas meja kurapihkan. Komputer proses shut down. Sejenak kemudian aku keluar ruang kerja.

Sampai di gerbang kantor, rintik hujan mulai menetes. Masker dan topi yang setiap hari melengkapi uniformku kukenakan. Itu pun sambil berjalan dengan tergesa. 

Sampai di jalan raya, rintik hujan makin deras. Kucari pepohonan yang lebih lebat daunnya untuk berteduh. Sambil menanti kedatangan bus yang akan kutumpangi pulang ke rumah.

Saat itulah tiba-tiba muncul Piyayi Sepuh. Berbaju rombeng, celana jeans compang-camping. Tangan kirinya menggenggam tas kresek hitam dan payung butut yang terlipat. Tangan kanannya kemudian diulurkan ke arahku. Minta sesuatu.

Den. Paringi arto gangsal atus kemawon. Yen mboten enten nggih mboten nopo-nopo.”

Di saku baju seragamku tersedia empat lembar dua ribuan untuk ongkos naik bus. Biasanya cukup membayar tujuh ribu rupiah, sudah sampai di rumah. Sudah jadi kebiasaan, ongkos bus kusiapkan. Dompet ada di dalam tas.

Kuambil selembar dua ribuan dan kuserahkan ke Piyayi Sepuh. 

“Kok kathah sanget Den. Gangsal atus mawon.”
“Ditampi mawon, Pak.”
 “Matur nuwun sanget, Den. Mugi-mugi tansah pinaringan rejeki, bagas waras, ....”

Bus yang kunanti akhirnya datang. Tiga lembar dua ribuan kulipat dan kubayarkan kepada kondektur saat aku dimintai bayaran.

Catatan bijaksana:
Permohonan yang kita sampaikan dalam doa-doa kita selama ini banyak yang dipenuhi. Namun begitu, selalu saja rasa kurang yang kita rasakan.  

Surakarta, 24 Maret 2016

Rabu, 02 Maret 2016

Priyayi Sepuh

Ternyata Bukan Kereta Api

Priyayi Sepuh hari ini berniat bepergian ke Surabaya. Pagi itu semua persiapan telah selesai. Berangkatlah dengan isteri tercinta ke jalan raya jurusan Surabaya. Dengan berkacamata hitam disusurinya gang sempit dari rumahnya itu. Tak berapa lama sampailah mereka berdua di pinggir jalan raya, tempat bus umum jurusan Surabaya.

Sejenak kemudian, lewatlah sebuah bus. Awalnya ia merentangkan tangan. Maksudnya meneyetop bus itu. Ketika bus berhenti ia hanya diam saja. Tak ada niat dan tanda-tanda akan naik bus itu. Kenek bus pun turun. "Tindak pundi Yang Kung? Monggo taksih kathah kursi kosong lho."

Priyayi Sepuh hanya menggelengkan kepala. Untuk mempertegas bahwa dia tidak berniat naik bus, ia menggerak-gerakkan tangannya tanda tidak akan naik bus itu. Kenek penasaran karena awalnya Priyayi Sepuhlah  yang menyetop bus. "Tindak pundi to Yang Kung?"

"Nyuwun pangapunten, Mas. Kulo mung mbuktekaken omongane konco kulo. Yen ono kendaraan gelem disetop berarti bus. Ning yen disetop ora gelem mandhek berarti sepur. Niki wau senes sepur nggih, Mas?"

"Dasar Piyayi Sepuh!" umpat kenek bus.


Surakarta, 3 Maret 2016