Senin, 13 Desember 2010

esai

KELUARGA SEJAHTERA SEBAGAI MINIATUR SURGA

“Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik.” (Amsal 24 : 3, 4)

Tulisan Amsal oleh Raja Salomo di atas kita yakini tidak sekadar bicara tentang rumah secara harafiah. Rumah bukan sekadar bangunan fisik. Rumah pada tulisan tersebut jauh mengatasi pemahaman tentang sebuah bangunan yang didirikan dan dibuat dari batu, pasir, semen, rangka besi, kayu, dan benda-benda pembangun lainnya. Rumah secara lebih mendalam mengandung makna sebagai tempat berteduh dari sengatan terik matahari, tempat beristirahat dari rasa letih dan lelah setelah seharian merayakan hidup dalam aktivitas kerja, surga tempat kita merasakan nikmat hidup, cinta kasih, perhatian, penerimaan, saling pengertian, dan perasaan-perasaan lain yang membahagiakan.

Rumah seperti dimaksud oleh Raja Salomo lebih mengacu pada hadirnya sebuah keluarga. Bukan sekadar keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan atau beberapa orang yang tinggal di dalamnya. Keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang sejak awal dibangun dan didirikan dengan pondasi hikmat. Niat awal pembentukan keluarga itu adalah hikmat yang berasal dari Tuhan sebagai sumber hikmat.

Hikmat adalah kebijaksanaan yang melebihi kepandaian berhitung tentang baik buruk apa yang dilakukan dan yang tidak dilakukan. Hikmat melebihi kemampuan seseorang mengalkulasi keuntungan dan kerugian yang diperoleh dari pilihan yang dikerjakan. Hikmat adalah karunia yang diberikan Tuhan sehingga orang memiliki cipta, karsa, dan karya. Ketiganya menyatu dalam gerak yang mendasari seseorang berpikir, bersikap, dan bertindak secara bijak. Sehingga seluruh gerak kehidupan yang dilakukannya menjadi sebuah perayaan hidup yang selaras, harmonis dengan kehendak Tuhan Sang Khalik sebagai pemilik hidup manusia.

Menyemai Hikmat dalam Keluarga
Hikmat merupakan hal pertama yang harus nampak dalam sebuah keluarga Kristen. Hikmat sebagai pondasi menjadikan keluarga Kristen kuat berakar kepada Tuhan sebagai sumber hidup dan kehidupannya. Akar yang kuat membuat keluarga tidak mudah terombang-ambing oleh situasi zaman dengan kemajuan yang sangat pesat, bahkan sulit untuk diramalkan perubahannya. Apalagi perkembangan saat ini serba tidak pasti.

Konsumerisme, hedonisme, individualisme, dan isme-isme modern lain menjadi ancaman kehidupan keluarga masa kini. Konsumerisme tidak bisa dipungkiri lagi menggerogoti seluruh kehidupan keluarga tanpa terkecuali. Mulai dari hal-hal sederhana seperti makanan dan minuman sampai alat komunikasi. Lihatlah tayangan iklan di televisi, berapa macam jenis makanan yang ditawarkan? Berapa peralatan rumah tangga yang diiklankan? Produk kosmetik apa saja yang diperkenalkan setiap saat?

Hedonisme secara tidak sadar telah menjadi gaya hidup yang tidak bisa ditolak oleh keluarga-keluarga zaman sekarang. Sementara itu individualisme telah menguasai konsep kita dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Kesenangan diri dan memperhatikan kepentingan diri sendiri menjadi ciri khas setiap tindakan kita. Ironisnya, hal ini terjadi di tengah-tengah keluarga kita.

Keluarga seyogyanya menjadi tempat menyemai rasa cinta kasih, solidaritas, maupun simpati dan empati. Namun ketika yang terjadi sebaliknya, kita semua gagap menghadapi hal ini. Kita terkaget-kaget karena peristiwa yang tidak pernah kita bayangkan terjadi di dalam keluarga kita. Sikap arogan yang dilakukan orang lain dan sering kita percakapkan ternyata berada di tengah-tengah kita. Bahkan KDRT yang sering kita baca dan saksikan di media menjadi bagian hidup keseharian.

Kemana perginya hikmat yang menjadi dasar pendirian rumah? Mengapa keluarga yang dibangun berdasar hikmat tidak merasakan nikmat? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi tantangan setiap keluarga, tidak terkecuali keluarga-keluarga Kristen. Setiap keluarga perlu melakukan refleksi untuk kembali merenung: sejauh mana keluarga ini melangkah? Perlukah melakukan pemahaman ulang untuk menemukan kembali hakikat keluarga yang diberkati dan menurut kehendak Tuhan?

Mengembalikan keluarga pada semangat awal pembentukannya bukan perkara sederhana. Setiap anggota keluarga harus memahami kembali fungsi dan kedudukan masing-masing. Tentu hal ini bukan monopoli tanggung jawab orang tua semata-mata. Ayah dan ibu memang punya porsi yang lebih banyak. Mereka adalah penanggung jawab keberlangsungan hidup keluarga. Namun demikian, anak-anak tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab dan perannnya di tengah keluarga. Pemahaman posisi, peran, dan tanggung jawab inilah makna sebenarnya dari hikmat dalam hidup berkeluarga.

Keluarga dan Pendidikan
Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Orang-orang dewasa (orang tua) di tengah keluarga bertanggung jawab terhadap pendidikan tunas-tunas muda yang hadir di dalam keluarga. Peran orang tua sangat sentral dalam memberi dasar pendidikan bagi anak-anak. Pendidikan etika, norma, agama, bahasa, nilai-nilai, perilaku, dan iptek perlu ditanamkan sejak dini. Semua itu akan membekali anak-anak dalam menjalani kehidupan selanjutnya.

Pendidikan tentang etika akan memberi pemahaman betapa pentingnya hidup dengan memperhatikan etika. Ternyata perilaku di tengah-tengah lingkungan tidak bisa semau gue. Ketika setiap orang mendapat karunia kebebasan, orang lain juga memiliki kebebasan yang tidak bisa dikesampingkan. Kebebasan yang bertanggung jawab menjadi batasan dalam menerapkan hidup bebas yang diinginkan. Etika menjadikan hidup keseharian menjadi beradab. Artinya, tidak ada pihak yang ditindas dan menindas. Tidak ada yang merasa lebih dari yang lain. Harmoni kehidupan mengiringi hidup bersama di tengah komunitas.

Pendidikan tentang norma, agama, bahasa, nilai-nilai, dan iptek tidak kalah penting dengan pendidikan tentang etika. Masing-masing materi pendidikan itu memiliki nilai kepentingan dengan derajat yang berbeda-beda. Norma dan nilai-nilai membekali anak sehingga jiwanya kaya dengan pemahaman hidup dan kehidupan. Agama membekali mereka untuk senantiasa bersyukur atas seluruh karunia kehidupan yang dianugerahkan Tuhan Sang Khalik. Bahasa membekali anak-anak untuk mampu mengungkapkan segala sesuatu dengan nalar dan kesantunan berkomunikasi. Iptek membekali mereka bagaimana menjalani kehidupan masa sekarang dan masa datang yang semakin penuh dengan tantangan.

Keluarga tanpa pendidikan, mungkinkah? Pertanyaan ini menarik untuk dicermati. Tidak bisa dipungkiri bahwa seluruh proses hidup manusia didasarkan pada proses belajar. Kemampuan seseorang dalam bidang tertentu tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan dan belajar dalam arti yang sangat luas. Proses di sini dimaknai sebagai proses alamiah maupun proses terencana. Bahkan kadang perlu rekayasa-rekayasa untuk mencapai tujuan tertentu agar sesuatu dapat tertanam dalam sikap maupun perilaku seseorang. Rekayasa dalam pemahaman positif bukan hal yang tabu untuk dilakukan.

Keluarga dan Pernak-perniknya
Keluarga menurut penulis Amsal butuh pernak-pernik yang menghiasi. Keindahan keluarga tidak terletak pada rumah mewah dengan taman indah dihiasi bunga warna-warni. Keindahan keluarga bukan dilihat dari berapa mobil yang mengisi garasi. Keindahan keluarga tidak ditentukan oleh hiasan-hiasan artistik berharga mahal yang dipajang di sudut-sudut ruangan. Keindahan keluarga jauh dari tampilan fisik yang kasat mata.

Keindahan keluarga memang tidak lepas dari pernak-pernik yang harus ada. Hanya saja, pernak-pernik itu lebih pada sesuatu yang bernilai kualitas. Keluarga yang dipenuhi oleh pemahaman arti keluarga oleh masing-masing anggotanya lebih penting dibandingkan dengan hiasan-hiasan hebat di dalamnya. Seorang ayah dengan sifat bijaksananya adalah mahkota bagi keluarga tersebut. Kebijaksanaan itu akan menghiasi keluarga dengan pamor sehingga setiap orang tertarik untuk memerhatikannya.

Kesabaran seorang ibu dalam mendidik anak-anak adalah asesoris lain keindahan sebuah keluarga. Kesungguhan yang ditunjukkannya di hadapan anak-anak dan suami lebih dari cukup untuk mengungkapkan betapa bertanggung jawabnya ia. Semua itu memberi bukti bahkan menjadi hal yang sangat berarti. Tidak ada hal yang patut dipuji di tengah keluarga selain kecintaan dan kesetiaan seorang ibu terhadap tugasnya.

Anak-anak yang hidup rukun di tengah-tengah keluarga adalah kekayaan yang tak ternilai. Rasa hormat anak kepada orang tua adalah harta berikutnya. Cinta kasih dan penghormatan terhadap status masing-masing menjadikan hidup keluarga serasi. Semua itu dengan sendirinya akan menyingkirkan rasa iri, permusuhan, dan sikap-sikap lain yang membuat sebuah keluarga tidak nyaman.

Keluarga Sejahtera Miniatur Surga
Bagaimana keluarga sejahtera dapat menjadi miniatur surga? Sejahtera dalam konteks ini jauh dari pengertian jasmaniah. Sejahtera memang tidak selalu bermakna serba berada, cukup kebutuhan jasmani saja. Sejahtera tidak dalam pengertian cukup secara ekonomi saja. Sejahtera bukan persoalan materi.

Sejahtera perlu dipahami sebagai sikap berkecukupan dalam segala keadaan. Sejahtera adalah perasaan selalu berkelimpahan dalam arti sebenarnya. Ketika penghasilan orang tua hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari seluruh keluarga memahami semua itu sebagai anugerah Tuhan yang patut disyukuri. Ketika seluruh keluarga harus melakukan penghematan karena ada kebutuhan lain yang perlu diprioritaskan, biaya sekolah misalnya, semua menyadari bahwa di tengah-tengah kekurangan mereka masih dapat menikmati kesempatan memperoleh pendidikan.

Keluarga sejahtera ibarat miniatur surga. Bukan limpah ruah materi yang menjadi penandanya. Lebih dari itu, kesejahteraan keluarga adalah sebuah keadaan yang menjadi gambaran kehidupan surga. Di dalamnya tidak ada rasa kekurangan meski sebenarnya jauh dari cukup. Tidak ada perasaan menderita meski sebenarnya jauh dari kemudahan.

Kitab Efesus memberi tips praktis mengenai keluarga sejahtera. Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh (Efesus 5: 22,23). Kata tunduk jauh dari makna arogan. Sikap hormat isteri kepada suami adalah bagian penting dalam sebuah keluarga. Ini menggambarkan betapa pentingnya saling hormat. Keluarga sejahtera adalah keluarga yang senantiasa menjunjung rasa saling menghormati.

Sikap hormat isteri harus ditanggapi suami dengan kasih. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri (Efesus 2: 28). Perasaan kasih seorang suami menjadi roh yang akan menggerakkan kehidupan keluarga. Selain itu suami yang sekaligus ayah harus mengasihi anak-anak. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan (Efesus 6: 4).

Kasih yang mendasari hidup berkeluarga adalah energi yang tidak pernah putus menghidupi sebuah keluarga. Keluarga sejahtera ditandai dengan penerapan kasih yang nyata di dalamnya. Lewat cara mendidik yang bijaksana seorang ayah dapat mengajarkan ajaran dan nasihat Tuhan.

Sikap anak di dalam keluarga juga ikut andil dalam menyejahterakan keluarga. Anak-anak di tengah keluarga mempunyai posisi yang sangat menentukan. Keluarga yang sejahtera adalah keluarga yang anak-anaknya taat kepada orang tua. Surat Efesus pasal 6 ayat 1 tegas memerintahkan Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Perintah ini masih dilanjutkan Hormatilah ayahmu dan ibumu -- ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini:supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi (6: 2, 3).

Keluarga sejahtera menghargai juga kehadiran orang lain di tengah-tengah mereka. Seorang pembantu yang ada di dalam sebuah keluarga pun perlu menempatkan diri secara benar. Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati (Efesus 6 : 5). Ketaatan seorang hamba kepada tuan bukan berarti menempatkan tuan lebih tinggi daripada hamba. Nasihat ini memberi gambaran nyata bahwa setiap orang dengan segala bentuk status punya tanggung jawab masing-masing. Ketika setiap orang mampu menenmpatkan dirinya secara proporsional, tentu kehidupan menjadi menyenangkan.

Beberapa gambaran di atas merupakan gambaran keluarga sejahtera yang sebenarnya. Sebuah miniatur surga yang kita cita-citakan bersama.

*Esai ini juara III nasional penulisan esai populer FAPSEDU-IPKB-Depag-BKKBN.

RSBI

Menghitung Ulang RSBI

“Harus segera dievaluasi menyeluruh. Penerimaan siswa baru saja sudah menunjukkan aksklusivitas. Dalam prosesnya juga tak transparan, termasuk dalam wawancara yang saling beradu besarnya sumbangan. Kami sering menerima keluhan masyarakat soal itu.” (Suara Merdeka, Kamis, 4 Februari 2010).

Pernyataan di atas disampaikan oleh Ketua Dewan Pendidikan Surakarta. Pernyataan menjadi desakan dilakukannya evaluasi menyangkut keberadaan RSBI. Dari pernyataan itu setidaknya ada tiga persoalan penting yang mendesak untuk dievaluasi. Tiga persoalan penting itu adalah perlunya penataan sistem seleksi murid baru, perlunya peraturan pembiayaan, dan perlunya penyiapan SDM yang kompeten.

Desakan evaluasi tidak perlu ditanggapi secara reaktif apalagi dijadikan polemik berkepanjangan. Evaluasi merupakan bagian dari proses yang sedang berjalan. Evaluasi hanyalah proses wajar yang diperlukan untuk mengetahui dan menemukan formulasi yang lebih tepat. Evaluasi jangan dimaknai mencari-cari kelemahan dan kesalahan tetapi sebuah kewajaran yang dikerjakan berdasar semangat refleksi. Refleksi akan menolong seluruh komponen yang sedang berproses mengidentifikasi hal-hal baik maupun yang belum. Dengan semangat refleksi itu, hal baik dikembangkan menuju kebakuan standar pengelolaan. Adapun hal yang masih kurang baik dikaji untuk menemukan format yang sesuai kebutuhan.

RSBI memang merupakan keputusan dan kewenangan pemerintah pusat. Seolah-olah daerah tinggal melaksanakannya. Namun perlu diingat, implementasi di lapangan memerlukan regulasi teknis untuk operasionalnya. Teknis implementasi bersentuhan langsung dengan realitas situasi dan kondisi nyata di lapangan. Sehingga regulasi bukan dalam rangka mengintervensi pelaksanaan manajemen berbasis sekolah melainkan untuk menjawab persoalan yang berkembang. Ketentuan-ketentuan dalam regulasi lebih dimaksudkan untuk memberi rambu-rambu pelaksanaan.

Dalam hal seleksi siswa baru misalnya. Masing-masing sekolah memiliki karakteristik dan ciri khas yang berbeda-beda. Demikian pun dengan daya dukung dan potensi yang tersedia. Usulan seleksi dengan cara online tentu menarik untuk dipertimbangkan meski tidak serta-merta diterima.

PSB online dengan modifikasi sesuai kebutuhan sekolah layak ditempatkan dalam prioritas pilihan. Kesediaan Universitas Sebelas Maret untuk membantu dalam hal teknologi patut disambut baik. Sekolah bertaraf internasional mestinya akrab dengan nuansa teknologi. Kalau tawaran bantuan teknologi yang disampaikan ditolak, masyarakat bisa mempertanyakan keinternasionalan taraf sekolah tersebut.

Sistem seleksi berdasarkan penelusuran minat dan kemampuan juga layak dijadikan alternatif. Usulan ini tentu bukan sekadar ingin mengganti sistem yang berlaku. Sistem yang diterapkan sekarang ini sudah melalui pengkajian dan pertimbangan. Kalau dalam perkembangannya didapati ketidakrelevanan, itu hanyalah masalah tuntutan situasi yang berubah. Di sisi lain mungkin sudah saatnya melakukan penyempurnaan model seleksi itu.

Apakah serta-merta penelusuran minat dan kemampuan menjawab persoalan seleksi siswa baru? Tentu tidak. Kesiapan perangkat menjadi kendala tersendiri. Misalnya saja, proses penelusuran minat dan kemampuan siswa tingkat SD. Parameter baku yang dibutuhkan perlu dipikirkan sejak awal. SDM yang kompeten perlu disiapkan. Demikian juga, diperlukan penyusunan instrumen yang sahih untuk menjaga objektivitas hasil. Ini baru seleksi untuk tingkat SD. Bagaimana dengan SMP dan SMA yang lebih kompleks? Dalam konteks menggulirkan wacana, hal ini layak oleh dicatat para pemangku kepentingan.

Proses seleksi siswa melalui online, penelusuran minat dan kemampuan, atau sistem apapun yang nantinya dipilih sebaiknya dikaji secara komprehensif. Dengan melibatkan unsur perguruan tinggi, kajian terhadap persoalan seleksi semakin mendekati kebutuhan di samping menjawab rasa keadilan masyarakat untuk mendapatkan hak pendidikan. Proses penerimaan siswa tentu tidak sekadar menerima jumlah siswa tertentu dengan persyaratan tertentu pula. Proses ini mestinya juga telah memperhitungkan aspek pembiayaan yang harus ditanggung masyarakat. Tidak bisa dimungkiri bahwa pengelolaan RSBI membutuhkan biaya lebih dari sekolah-sekolah standar nasional. Persoalan yang harus dipikirkan adalah bagaimana besaran dana yang dihimpun satuan pendidikan tidak mengurangi hak pendidikan masyarakat kurang mampu.

Kesiapan sumber daya guru menjadi persoalan tersendiri dalam menyukseskan program RSBI. Perlu diingat bahwa sekolah dengan status RSBI bukan sekolah baru. Sekolah-sekolah ini sejak awal sudah lengkap perangkatnya termasuk guru-gurunya. Tidak adil jika dalam hitungan satu dua tahun menuntut guru-guru di RSBI juga berubah bertaraf internasional. Jadi tidak perlu kaget jika ternyata para siswa di RSBI kurang mendapatkan pelayanan bertaraf internasional dari guru-gurunya.

Ada banyak alternatif yang bisa ditempuh untuk mengatasi persoalan ini. Guru-guru muda potensial difasilitasi mengembangkan diri. Bukan sekadar mampu berbahasa Inggris sebagai ciri keinternasionalan tetapi kualifikasi pendidikan S2 mutlak disandang seperti ditargetkan oleh Dirjen PMPTK. Guru-guru yang pensiun, posisinya digantikan oleh guru potensial tingkat kota. Caranya dengan melakukan seleksi terhadap guru-guru yang tersebar di berbagai satuan pendidikan. Seleksi untuk mendapatkan pendidik berkualitas yang diharapkan menjawab persoalan guru di RSBI. Seleksi adalah bentuk teknis rolling guru sekaligus dipakai untuk mengurangi keluhan kualitas pelayanan. Ini ditempuh dengan pemahaman bahwa RSBI adalah lokomotif peningkatan kualitas pendidikan.

Kita semua berharap program yang baik akan membawa kebaikan bagi seluruh masyarakat. RSBI dimaksudkan untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dan di daerah pada khususnya. Era global yang terjadi saat ini memerlukan langkah antisipasi. Perburuan negara tetangga terhadap siswa-siswa berpotensi harus diantisipasi dengan wadah pendidikan dengan standar tertentu. Semoga RSBI menjadi salah satu jawabannya.

Selasa, 30 November 2010

मकलाह KGI

SCAFFOLDING LEARNING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA


Oleh:
Drs. Ely Prihmono Suwarso Putro, M.Pd.
Guru SMA Kristen 1 Surakarta

A.Pengantar
Scaffolding learning secara lebih spesifik memakai gagasan-gagasan yang disampaikan Vygotsky, seorang psikolog Rusia, dan Brunner ahli psikologi pendidikan Amerika (Hyland, 2004: 122). Gagasan scaffolding menekankan peran interaksi dengan teman sebaya dan dengan orang lain yang lebih berpengalaman dalam pembelajaran. Faktor interaksi dalam kegiatan belajar mengajar sangat penting untuk menanamkan kompetensi yang sedang dipelajari.
Scaffolding learning menurut Cagiltay (2006: 93) adalah metode untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan baru, konsep, dan kompetensi pada level yang lebih tinggi. Metode ini dapat juga mengembangkan pemahaman pembelajar terhadap bermacam-macam keahlian atau keterampilan yang masih baru. Menurut Cagiltay, Scaffolding learning dapat menolong seorang pembelajar mencapai tingkat performa yang diinginkan dengan cepat.
North Central Regional Educational Laboratory (NCREL, 2008) dalam rumusan yang lebih teknis menyatakan scaffolding sebagai “an instructional technique whereby the teacher models the desired learning strategy or task, than gradually shifts responsibility to the students”. Scaffolding adalah cara pembelajaran yang ditandai dengan beberapa tahapan dalam pelaksanaannya. Tahap awal dilaksanakan dengan pemberian tugas melalui pemodelan seperti yang diinginkan guru. Setelah proses pemodelan dianggap mencapai keberhasilan tertentu, tanggung jawab belajar digeser kepada peserta didik.
Dalam perspektif Australian Government (2002: 11), pembelajaran dengan scaffolding learning bukanlah tentang pengiriman atau pemerolehan ilmu. Pembelajaran pada prinsipnya adalah transformasi, yaitu pengubahan sifat dasar seseorang yang berpartisipasi dalam sebuah usaha kerja sama. Pergeseran partisipasi antara lain ditandai perubahan peran: dari pembelajar pasif menjadi lebih aktif, dari pengamat menjadi peserta, dan dari peserta menjadi anggota ahli dalam komunitas.
Keikutsertaan sebagai ahli pada kesempatan berikutnya akan ditransformasi ke cara-cara baru untuk mengajar, cara-cara untuk berpartisipasi, dan cara-cara untuk mengubah peran sebagai akibat perubahan peran yang lainnya. Dengan scaffolding learning, setiap orang belajar dan bekerja bersama-sama dalam mencapai tujuan bersama yang akan berguna untuk tugas-tugas di sekolah maupun di luar sekolah.

B.Prinsip-prinsip Scaffolding Learning
Dari beberapa pendapat di atas, scaffolding learning dapat dipahami sebagai sebuah strategi pembelajaran yang sistematis, efisien, dan efektif. Sistematis ditandai dengan tahapan-tahapan pembelajaran yang terstruktur dalam pelaksanaannya. Efisien ditandai oleh keterlibatan orang lain yang lebih berpengalaman dalam kegiatan pembelajaran. Efektivitas dapat dilihat dari hasil pembelajaran, seorang pembelajar dapat dengan cepat menguasai keahlian yang relatif baru. Di samping itu, interaksi yang terjadi mengubah partisipasi dan peran pembelajar dalam keseluruhan kegiatan belajar mengajar.
Esensi scaffolding learning adalah menggerakkan pembelajar dari tingkat Zone of Actual Development (ZAD) menuju ke Zone of Proximal Development (ZPD) (Australian Government, 2002: 6). Kemajuan belajar dari tingkat ke tingkat lainnya tidak diperoleh hanya melalui masukan oleh guru tetapi lebih melalui interaksi sosial dan bantuan dari orang lain yang lebih cakap dan berpengalaman. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa para siswa mampu mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada mereka yang mungkin telah mencapainya dengan bekerja secara individual.
Wilayah perkembangan aktual (Zone of Actual Development) berhubungan dengan wilayah perkembangan kemampuan seseorang. Ketika seorang guru memberi tugas dan para siswa mampu mengerjakannya, tugas tersebut berada pada wilayah ZAD. Dalam konteks scaffolding learning, mereka yang secara mandiri dapat menyelesaikan tugas dengan baik sebenarnya tidak belajar apa-apa karena memang sudah mampu.
Wilayah perkembangan dalam pengajaran dan pembelajaran menurut konsep scaffolding learning terjadi di wilayah perkembangan proximal (Zone of Proximal Development). Pembelajaran berada di wilayah kognitif, tepatnya terletak di luar kemampuan yang dapat dilakukan seorang anak. Apapun yang bisa dipelajari seorang anak dengan bantuan dan dukungan dari guru, teman sebaya, maupun lingkungan pembelajaran dikatakan terletak dalam ZPD.
Kompetensi seorang anak hanya dapat dikembangkan di ZPD melalui kerja sama. Kerja sama diciptakan melalui kegiatan-kegiatan yang aktual, konkret, dan tersituasi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih mampu (Australian Government, 2002: 6). Situasi tersebut memberi peluang pada setiap siswa yang terlibat untuk saling membantu dalam menyelesaikan tugas.
Dengan cukupnya latihan terbantu, seorang anak menginternalisasikan strategi-strategi dan bahasa untuk menyelesaikan tugas. Selanjutnya, strategi dan instruksi itu dijadikan bagian psikologi anak untuk memecahkan masalah pribadi. Ketika hal ini tercapai, strategi pembelajaran memasuki ZAD siswa karena mereka sekarang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik tanpa bantuan. Keterampilan yang diperoleh tersebut pada saatnya mampu diterapkan dalam situasi yang mungkin akan ditemui kemudian.

C.Scaffolding Learning dalam Pembelajaran Bahasa
Penerapan scaffolding learning dalam pembelajaran bahasa salah satunya disampaikan oleh Beverley Axford (2007). Pembelajaran bahasa disusun dalam urutan yang disebut dengan scaffolding lyteracy. Urutan mengajar dirancang untuk menyatukan reading, spelling and syntax, dan writing.

1.Scaffolding Reading
Scaffolding reading diawali dengan pemilihan teks yang berorientasi pada buku atau bagian-bagiannya. Orang dewasa memfokuskan pada kegiatan, yakni (1) memilih teks yang sesuai untuk dikerjakan bersama siswa dan (2) memperkenalkan buku atau bagian dari buku kepada siswa.
Teks-teks yang dikerjakan siswa dalam program ini ditentukan berdasar kemampuan berbahasa mereka. Struktur bahasa dalam teks dipilih yang cukup kompleks dan beragam sehingga maksud pengarang dapat secara eksplisit dibahas bersama siswa. Pembahasan dimaksudkan untuk menemukan susunan bahasa tulis yang jelas.
Scaffolding reading kebanyakan menggunakan teks-teks naratif (cerita). Struktur naratif biasanya dikenal baik oleh orang dewasa dan siswa. Di samping itu, para penulis buku naratif cenderung memberikan lebih banyak perhatian pada susunan dan pemilihan kata daripada para penulis nonfiksi.
Membahas teks-teks jenis ini memungkinkan orang dewasa dan siswa mengembangkan pemahaman bahasa yang sedang dipelajari. Aspek-aspek kebahasaan dari teks dapat diperhatikan secara cermat. Contohnya, penempatan kata-kata tertentu oleh pengarang dalam menggambarkan karakter, latar, atau meningkatkan ketegangan).
2. Scaffolding Spelling and Syntax Melalui Transformations
Transformations memberi kesempatan kepada orang dewasa dan siswa bekerjasama dalam mempelajari kalimat-kalimat tertentu dari teks. Orang dewasa, dalam hal ini guru atau teman sebaya yang lebih mampu men-scaffold / menyusun pemahaman frase dan kata serta pelafalan yang harus dilakukan pembelajar. Pungtuasi, sintaksis, dan aspek-aspek lain dari tata bahasa fungsional (functional grammar) dapat juga dijelaskan menggunakan teknik ini.
Secara sederhana, teknik transformasi diawali dengan orang dewasa menulis sebuah kalimat yang diambil dari teks di atas selembar kartu. Orang dewasa dan anak kemudian bekerjasama untuk mengenali fungsi setiap bagian kalimat. Kegiatan selanjutnya memilah kalimat ke dalam komponennya, yaitu kata dan frase. Berbagai macam kegiatan kemudian dilakukan untuk memastikan siswa dapat melafalkan kata-kata dengan baik atau belum.
Seperti halnya dengan membaca, penekanan ada pada scaffolding dalam bentuk tugas-tugas sehingga anak mempunyai cukup informasi untuk menyelesaikan tugas dengan sukses. Scaffolding juga dipakai untuk menghindarkan tugas dari kesan tes yang hanya dihafalkan. Kealamiahan aktivitas transformation ini membantu siswa berfokus pada kata-kata yang konkret dan/ atau pola-pola huruf.
3. Scaffolding Writing
Dengan menggunakan teks, pembelajar berkedudukan sebagai model. Guru dan siswa mengerjakan tugas-tugas menulis secara berkelompok dalam kegiatan yang disebut independent reconstructed writing (mengarang mandiri yang terkonstruksi). Mereka mengerjakan karangan mereka sendiri berdasar pada teks contoh sebagai pembimbing. Pola ini mendorong ingatan mereka untuk mengingat susunan bahasa yang digunakan oleh pengarang.
Hal yang perlu dipahami, menulis bukanlah bagian terakhir dari urutan mengajar scaffolding literacy. Menulis merupakan cara mengarahkan seseorang ke bacaan selanjutnya. Urutan mengajar memungkinkan putaran balikan atau siklus yang berkelanjutan. Usaha siswa untuk menghasilkan teks (karangan) memungkinkan mereka memahami struktur teks berikutnya yang lebih rumit.
Dengan terus menulis, mereka akan memiliki kemampuan berbahasa yang tidak dikuasai sebelumnya. Mereka akan memahami cara-cara pengarang memanfaatkan diksi secara tepat, menggunakan ungkapan secara menarik, maupun menciptakan ketegangan atau misteri. Berdasar pada pemahaman itulah, mereka akan mampu menulis seperti keinginan pembacanya.

D.Penerapan Scaffolding Learning
Hyland (2004 :130 – 139) memodifikasi tahapan scaffolding learning ke dalam langkah-langkah pembelajaran. Langkah-langkah pembelajaran disebut Hyland dengan istilah developing the contexts, modeling, joint negotiation, independent construction, dan comparing texts. Masing-masing istilah selanjutnya diuraikan dalam paparan di bawah ini.

1.Developing the Contexts
Pada tahap ini para guru harus memahami aspek-aspek utama konteks pembelajaran. Guru memperkenalkan konteks tulisan yang sedang dibahas kepada para siswa. Berbagai macam topik yang dijumpai pada contoh-contoh tulisan dimaksudkan untuk menemukan konteks situasi, tujuan penulisan, jenis tulisan, pembaca, dan penulis teks. Penemuan hal-hal tersebut memungkinkan para siswa membawa pengalaman-pengalamannya sendiri ke proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Secara mandiri para siswa diarahkan mampu memahami topik tulisan, jenis teks, tujuan penulisan, pembaca, bahasa, situasi, dan media yang dipergunakan.
Menurut Hyland (2004: 130–132) ada beberapa aktivitas yang dapat digunakan untuk memahami konteks tulisan. Misalnya, menyajikan sejumlah paragraf, menghadirkan dan membahas konteks melalui gambar, film, film dokumentasi, bahan-bahan jurnalistik, realita, kunjungan ke wilayah tertentu, dan pembicara tamu. Aktivitas lain adalah menyediakan tugas analitis untuk mengungkapkan aspek-aspek dari konteks sajian. Menemukan ragam bahasa yang digunakan dalam teks. Siswa dapat juga diikutsertakan dalam simulasi, drama, studi kasus, dan aktivitas lain. Yang terakhir, siswa didorong melakukan identifikasi dan internalisasi dalam latihan literasi melalui pengamatan terhadap lingkungan, wawancara partisipan, dan analisis teks.

2.Modeling
Modeling merupakan aktivitas scaffolding yang penting. Aktivitas modeling atau pemodelan melibatkan guru dan pembelajar dalam membahas dan menyelidiki tipe teks, ciri-ciri ungkapan, dan susunan bahasanya. Tujuan pemodelan untuk memfokuskan para siswa pada ciri-ciri tulisan. Tulisan yang sesuai dengan materi dianalisis, dibandingkan, dan dimanipulasi dengan tujuan membuat siswa peka terhadap struktur umum. Kegiatan ini menyiapkan siswa memahami berbagai perbedaan yang ada pada tipe-tipe tulisan.
Hal penting lain yang harus dilakukan adalah memperlengkapi siswa dengan pengetahuan dan sumber-sumber yang diperlukan untuk menghasilkan tulisan berkualitas. Cara yang dapat dilakukan yaitu dengan latihan menulis berdasar model-model tulisan yang disajikan guru. Bentuk-bentuk yang ada dimodifikasi dan dimanipulasi secara anatomis. Kegiatan ini memberi pengalaman bahwa menulis dapat dilakukan secara sistematis dengan langkah-langkah teknis yang jelas.
Siswa juga perlu dipahamkan bahwa belajar menulis berkaitan dengan pemerolehan kemampuan untuk berlatih pilihan linguistik yang tepat. Peran guru sangat besar dalam membantu siswa menyusun tata bahasa secara eksplisit (Hyland, 2004: 132). Termasuk di dalamnya adalah mengendalikan dan memanipulasi sumber-sumber bahasa karena hal ini sangat penting untuk menghasilkan teks yang baik.
Sementara itu, keanekaragaman tugas yang diberikan guru digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa akan ciri-ciri teks. Tujuan yang lain adalah mendorong atau men-scaffold penguasaan keterampilan menyusun berbagai jenis teks. Pemodelan atau modeling tentu saja mencakup penganalisisan tipe teks pada tahapan yang berbeda dalam banyak tugas pengajaran bahasa yang familier (Hyland, 2004: 133).

3.Joint Negotiation
Guru dan siswa bekerja sama membangun seluruh contoh teks. Pada tahap ini, guru mengurangi kontribusinya saat pembelajar memperoleh pengontrolan terhadap penulisan mereka. Ketika para siswa tahu apa yang diperlukan, mereka berada pada posisi yang lebih baik untuk menyusun tulisan berbagai jenis. Namun demikian, mereka masih mengandalkan bantuan akan tugas-tugas yang terstruktur dan bimbingan dari guru atau teman yang lebih mampu (Hyland, 2004: 134).
Fokus guru berkurang pada masukan dan pemodelan tetapi mulai bertindak sebagai fasilitator untuk aktivitas-aktivitas menulis. Dalam hal ini, guru berperan sebagai pemberi tanggapan terhadap tulisan siswa. Adapun para siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok. Mereka juga diberi peluang untuk mendapatkan bantuan lebih banyak dan intensif rekan satu kelompoknya.
Diperlukan aktivitas-aktivitas penulisan bersama antara guru dengan siswa sepanjang hal tersebut memang diperlukan. Aktivitas-aktivitas itu antara lain menyusun seluruh kelas di bawah pimpinan seorang guru. Aktivitas berikutnya adalah mengumpulkan informasi melalui penelitian dan wawancara. Kegiatan selanjutnya dilakukan dengan penyusunan kelompok yang lebih kecil, berdasarkan teks yang akan dipresentasikan di kelas. Kegiatan diakhiri dengan menyelesaikan teks-teks yang belum selesai atau menyelesaikan kerangka teks.

4.Independent Construction
Tujuan tahap ini adalah menerapkan apa yang siswa pelajari dan menulis teks secara mandiri (Hyland, 2004: 136). Pada waktu bersamaan guru melihat dan memberi saran di luar aktivitas menulis siswa. Semua siswa yang siap menulis memerlukan kesempatan yang lebih luas untuk menyusun teks sesuai tugas.
Mengikutsertakan siswa dalam seluruh proses penulisan memberikan pengalaman terhadap performa independen masing-masing. Pembelajar menggabungkan pengetahuan mengenai isi, proses, ungkapan bahasa, konteks, dan jenis teks. Pada waktu bersamaan, guru memiliki kesempatan untuk menentukan tingkat pencapaian siswa terhadap kompetensi menulis.
Para siswa mungkin memerlukan bantuan di awal proses menulis. Kecakapan-kecakapan yang diperlukan antara lain menghasilkan isi, draf, dan memperbaiki tulisan panjang dan terperinci. Oleh karena itu, sebuah metode mengajar perlu mengembangkan strategi perencanaan, pengedrafan, penulisan kembali, pemeriksaan, dan perbaikan tulisan.
Hyland (2004: 137) menyampaikan beberapa kegiatan independent construction dalam rumusan-rumusan berikut ini. (1) Melatih kegiatan-kegiatan pramenulis (mengembangkan gagasan-gagasan dan berpikir bagaimana menyelesaikannya secara bersama-sama, menulis secara bebas, pengotakan (cubing), dan lain-lain). (2) Menguraikan dan membuat draf berdasarkan aktivitas-aktivitas pramenulis. (3) Menulis teks untuk tujuan yang lain (mengubah tipe teks sesuai kebutuhan). (4) Memperbaiki draf sebagai tanggapan terhadap komentar orang lain. (5) Mengoreksi dan mengedit draf mengenai tata bahasa dan ungkapan bahasa. (6) Membaca dan menanggapi gagasan-gagasan/draf yang lain. (7) Meneliti, menulis, dan menyempurnakan teks berdasarkan tanggapan orang lain.

5.Comparing Texts
Metode menulis dan memahami tipe teks yang diajarkan sebelumnya memberi siswa dasar potensial untuk berpikir dan meninjau cara-cara pengaturan dan penyusunan pengetahuan dan informasi. Scaffolding learning menciptakan kebiasaan terhadap teks yang dipelajari dan memampukan guru mendorong siswa melihat cara teks disusun secara berurutan. Siswa mengetahui bahwa mereka dapat menulis dengan cara memberi tanggapan terhadap teks dalam sebuah diskusi.
Diskusi merupakan kesempatan berbagi pengetahuan. Hal yang dibagikan adalah hasil membaca dan menganalisis tulisan teman. Mereka saling memberi informasi kekurangan dan kelebihan teks yang dibacanya. Dalam kesempatan ini, setiap orang menyampaikan tanggapan maupun memberi saran perbaikan. Objek pembicaraan meliputi penulisan ejaan, diksi, struktur, koherensi, maupun penuangan gagasan.
Comparing texts melibatkan para siswa dalam menulis kembali sebuah teks dengan mengubah variabel, tujuan, media, ungkapan bahasa, maupun sasarannya berdasar masukan yang disampaikan teman atau guru. Pemikiran yang komparatif dan kritis mendorong para siswa untuk menulis berdasar pengetahuan dan hasil interpretasi terhadap jenis teks (Hyland, 2004 : 138).
Seperti pada aktivitas-aktivitas pendahuluan, tugas-tugas yang diberikan kepada siswa membantu proses pembelajaran menulis. Tugas-tugas tersebut menolong siswa meningkatkan pengetahuan yang dibutuhkan dalam aktivitas pembelajaran. Peningkatan pengetahuan akan meningkatkan juga kompetensi menulis sebagai akibat dari penyelesaian tugas yang diberikan. Tugas-tugas itu membantu para siswa melihat sejauh mana kebiasaan yang mereka lakukan menghasilkan kompetensi yang dibutuhkan di bidang tulis-menulis.

E.Kelebihan Scaffolding Learning
Scaffolding learning memiliki sejumlah kelebihan. Kelebihan-kelebihan itu penting untuk dijadikan pertimbangan dalam pembelajaran bahasa. Kelebihan-kelebihan itu diuraikan dalam paparan berikut ini.
Pertama, scaffolding learning dapat mengatasi persoalan psikologis berupa kurangnya minat, motivasi, dan rasa percaya diri siswa. Keterbatasan psikologis ini perlu diketahui oleh guru. Guru harus dapat memengaruhi siswa: kapan dan bagaimana mereka dapat belajar melalui dorongan sehingga para siswa keluar dari keterbatasan itu. Dengan scaffolding learning, minat dan motivasi siswa dibangkitkan melalui tahapan pembelajaran yang sistematis. Mereka diajar bagaimana menulis tahap demi tahap. Mereka dibimbing untuk menguasai materi sekaligus proses menulis berdasar pada lembar kerja yang disediakan. Scaffolding learning selanjutnya diwujudkan dalam tugas terbimbing berupa pertanyaan dan perintah yang membantu mereka menyusun tulisannya. Tugas terbimbing akan mengurangi tingkat ketegangan siswa dalam melaksanakan pembelajaran.
Kedua, scaffolding learning menerapkan pola kerja sama dalam kelompok-kelompok pembelajaran. Kerja sama yang dilakukan dalam kelompok membantu memahami kekurangan maupun kelebihan diri dan orang lain. Kekurangan diri dapat dijadikan pendorong untuk belajar dari kelebihan orang lain. Sedangkan kelebihan yang dipunyai membantu mereka untuk bersimpati dan berempati terhadap kelemahan teman. Kelemahan maupun kelebihan dapat menciptakan kerja sama yang positif. Mereka bisa mengembangkan kemampuan secara bersama-sama di samping mengembangkan keterampilan individualnya.
Ketiga, scaffolding learning adalah semacam bimbingan yang diberikan oleh orang yang lebih tahu kepada orang yang kurang atau belum tahu. Orang yang lebih tahu dalam pemahaman ini tidak harus guru. Kelompok teman sebaya (peer teaching) menempatkan siswa yang pandai menjadi penolong bagi siswa lain yang kurang pandai. Teknik pembimbingan semacam ini lebih efektif dalam pembelajaran. Pembimbingan yang dilakukan sesama siswa tidak akan menimbulkan hambatan psikologis selama berlangsungnya proses belajar.
Keempat, scaffolding learning menempatkan peserta didik sebagai susunan sebuah bangunan yang melambangkan kemampuan-kemampuan kognitifnya. Bangunan diawali dengan bagian paling bawah, berupa pondasi kemampuan yang sudah dikuasai dan bisa dilakukan oleh pembelajar. Bagian berikutnya adalah bangunan yang harus diletakkan di atas dasar yang telah dikuasai tersebut. Selanjutnya akan diletakkan susunan lebih tinggi sesuai dengan tingkat kekompleksan yang lebih rumit.
Guru menyediakan perancah (scaffold) untuk menyokong bangunan. Diawali dengan hal dasar, ditingkatkan menuju ke suasana dan situasi baru yang sebelumnya tidak dikenal. Perancah berupa lingkungan yang guru ciptakan di tengah-tengah pembelajaran berbentuk sarana pendukung pengajaran, aktivitas mengajar belajar, serta bentuk-bentuk perintah untuk mendorong penyelesaian tugas dan pengembangan kemampuan mereka. Di samping itu, latihan-latihan dan penugasan dengan model perancah memberi bekal pengetahuan sekaligus keterampilan yang bertahap. Setiap tahapan memberi pengalaman hidup yang relatif tetap sehingga keterampilan itu dapat digunakan ketika diperlukan.
Kelima, scaffolding learning secara khusus meliputi perancangan, diskusi, pengajaran yang eksplisit, dan masukan yang berarti dari seorang guru. Semuanya itu untuk membantu para pembelajar menguasai kompetensi yang seharusnya dicapai. Tingkat campur tangan guru dalam berbagai macam kegiatan memainkan peran utama dalam penulisan scaffolding. Hal itu menunjukkan bahwa serangkaian dukungan terhadap kegiatan menulis akan meningkatkan kompetensi siswa. Aktivitas yang awalnya terkendali akan berpengaruh baik terhadap penulisan teks panjang dan terperinci secara mandiri.
Kenam, scaffolding learning melatih siswa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Hal ini dapat terjadi melalui pola belajar yang berlangsung. Bimbingan yang diberikan pada tahap awal pembelajaran dilakukan secara ketat kemudian secara berangsur-angsur bimbingan dikurangi dan akhirnya peserta didik diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk melanjutkan proses belajarnya.
Ketujuh, scaffolding learning dapat meningkatkan keterampilan berbahasa yang lain. Dalam kegiatan pembelajaran menulis, mereka juga membaca dan memahami tulisan siswa lain. Kemampuan membaca para siswa tentu juga meningkat. Kegiatan pembimbingan terhadap siswa lain dilakukan dengan berbicara. Berarti, mereka juga akan mengalami peningkatan keterampilan berbicaranya. Adapun bagi yang mendapatkan bimbingan, mereka akan belajar bagaimana menyimak yang baik. Dalam konsep ini, ilmu pengetahuan yang dimiliki peserta didik adalah sebuah hasil alamiah dari proses pertumbuhan. Pengetahuan itu dapat dibangun secara sosial dan kultural di lingkungan tempat mereka tinggal.
Kedelapan, interaksi yang terjadi dalam penerapan scaffolding learning mengembangkan kemampuan kognitif baru di bawah bimbingan guru. Pembimbingan dapat dilakukan melalui interaksi yang berorientasi pada tugas. Berdasar pertimbangan tertentu, seorang guru akan memberi berbagai tingkatan bantuan sampai seorang siswa menyelesaikan tugasnya. Tujuannya adalah memberi pengalaman sebanyak mungkin kepada siswa melakukan kegiatan secara mandiri. Guru akan turun tangan dan memberikan bantuan kepada siswa ketika dibutuhkan sehingga tugas dapat diselesaikan dengan hasil baik.
Kesembilan, para siswa perlu melibatkan diri dalam tugas-tugas yang menantang. Dengan bantuan yang tepat mereka dapat menyelesaikan tugasnya. Pengajaran dengan scaffolding learning menempatkan guru sebagai pendamping dan pendidik siswa. Dengan penuh perhatian, guru menggantikan peran orang tua. Peran yang dimaksudkan adalah melakukan bantuan dan pendampingan selama para siswa belajar.

DAFTAR PUSTAKA


Australian Government. 2002. “Scaffolding Learning”. Department of Education Science and Training. http: // mail. google.com/mail/?ui=1& realattid = f_f03he83p0&attid=0.1&disp=vah& view = a … (diunduh Sabtu, 2 Agustus 2008).

Axford, Beverley. 2007. “Parent and Their Children Working Together: A Scaffolding Literacy Case Study”. Australian Journal of Language and Literacy. Vol 30, No. 1, 2007, pp. 21 – 39.

Cagiltay, Kursat. 2006. “Scaffolding Strategis in Elektronic Performance Support System: Types and Chalenges”. Inovation in Education and Teaching International. Vol. 43, No. 1, February 2006, pp. 93 – 103.

Hyland, Ken. 2004. Genre and Second Language Writing. Michigan : The University of Michigan Press.

NCREL. 2008. “Scaffolding”. http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/students/ learning/lr1scaf.htm. (diunduh Senin, 14 Januari 2008).

Minggu, 26 September 2010

एंडलेस LOVE

Endless Love
Kejadian 13: 1 – 8

13:1 Maka pergilah Abram dari Mesir ke Tanah Negeb dengan isterinya dan segala kepunyaannya, dan Lot pun bersama-sama dengan dia. 13:2 Adapun Abram sangat kaya, banyak ternak, perak dan emasnya. 13:3 Ia berjalan dari tempat persinggahan ke tempat persinggahan, dari Tanah Negeb sampai dekat Betel, di mana kemahnya mula-mula berdiri, antara Betel dan Ai, 13:4 ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN. 13:5 Juga Lot, yang ikut bersama-sama dengan Abram, mempunyai domba dan lembu dan kemah. 13:6 Tetapi negeri itu tidak cukup luas bagi mereka untuk diam bersama-sama, sebab harta milik mereka amat banyak, sehingga mereka tidak dapat diam bersama-sama. 13:7 Karena itu terjadilah perkelahian antara para gembala Abram dan para gembala Lot. Waktu itu orang Kanaan dan orang Feris diam di negeri itu. 13:8 Maka berkatalah Abram kepada Lot: "Janganlah kiranya ada perkelahian antara aku dan engkau, dan antara para gembalaku dan para gembalamu, sebab kita ini kerabat. 13:9 Bukankah seluruh negeri ini terbuka untuk engkau? Baiklah pisahkan dirimu dari padaku; jika engkau ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri."

Ibu, Bapak, dan keluarga besar SMA Kristen yang dikasihi Tuhan,
Sungguh berbahagia kita hari ini karena masih memiliki kesempatan untuk berkumpul bersama. Pada siang hari ini saya diminta untuk menyampaikan renungan. Minggu yang lalu saya diminta untuk menggantikan seseorang. Dan hari Sabtu saya baru tahu kalau hari ini ada acara khusus, perpisahan dengan keluarga Ibu Suprantiningsih, S.Pd. yang purnatugas mulai 1 September 2010. Tentu tanggal 1 September adalah klimaks yang tidak akan pernah dilupakan. Setelah beberapa bulan kerja keras mempersiapkan kelengkapan akreditasi, akhirnya semua selesai. Klimaks yang sempurna.

Ibu, Bapak, dan keluarga besar SMA Kristen yang terkasih,
Bacaan kita tadi kisah perpisahan antara Abram dan Lot, paman dan kemenakan. Perpisahan harus terjadi karena tuntutan kebutuhan untuk melanjutkan dan melangsungkan hidup. Tuntutan melanjutkan dan melangsungkan hidup Abram dan Lot ditandai dengan perkelahian di antara kedua gembala Abram dan Lot. Untuk mencegah makin memburuknya hubungan dua kelompok, 13:8 Maka berkatalah Abram kepada Lot: "Janganlah kiranya ada perkelahian antara aku dan engkau, dan antara para gembalaku dan para gembalamu, sebab kita ini kerabat. 13:9 Bukankah seluruh negeri ini terbuka untuk engkau? Baiklah pisahkan dirimu dari padaku; jika engkau ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri."
Dari ayat 8, ada bagian yang patut menjadi catatan yaitu ungkapan kita ini kerabat. Kerabat? Di kamus, kita akan menemukan kata kabat yang artinya mengikat, mengebat. Adapun kata kerabat artinya saudara dekat, famili yang masih satu keturunan. Keturunan atau ikatan darah dalam banyak tradisi dapat menjadi alasan sangat kuat untuk menyatukan orang, keluarga, kelompok, bahkan bangsa. Saudara sedarah menjadi alasan kuat untuk seseorang, kelompok, maupun bangsa berbela rasa hingga rela mengalirkan darah. Darah menjadi kabat, yang mengikat dua bagian atau lebih yang terpisah.

Saudara yang terkasih,
Apa relevansi dari bacaan kita hari ini beserta kisah di dalamnya? Ada yang relevan atau sama tetapi ada juga yang berbeda. Dari banyak perbedaan maupun persamaan itu, ada masing-masing satu persamaan dan perbedaan yang akan kita renungkan.

Persamaannya, seperti telah disampaikan, hari ini ada peristiwa dan acara perpisahan. Secara dinas, Ibu Suprantiningsih, S.Pd. berpisah dengan rekan-rekan kerjanya di SMA Kristen 1 Surakarta. Baik dengan guru-guru, staf TU, maupun karyawan yang lain. Namanya perpisahan, apa yang terjadi antara Abram dengan Lot juga terjadi pada peristiwa berpisahnya Bu Ning dengan civitas SMA Kristen 1 Surakarta.

Perbedaannya, perpisahan antara Abram dengan Lot dipicu oleh perkelahian sedangkan perpisahan antara Bu Ning dengan civitas SMA Kristen 1 Surakarta disebabkan oleh purna tugas atau pensiun. Jadi penyebabnya bukan karena perkelahian. Secara kedinasan, usia Bu Ning sudah sampai batas akhir untuk berdinas.

Saudara yang terkasih,
Meski kita berpisah, kita ini kerabat. Ungkapan yang disampaikan oleh Abram kepada Lot hendaknya menjadi inspirasi, bahkan pedoman bahwa kita ini memang kerabat. Bu Ning beserta keluarga dan keluarga besar SMA Kristen 1 Surakarta harus mengakui bahwa kita ini kerabat. Ada yang mengikat antara keluarga Bu Ning dengan keluarga besar SMA Kristen 1 Surakarta. Pengakuan bahwa kita ini kerabat, saudara dekat, famili yang masih satu keturunan, dan punya darah yang sama akan mengalirkan cinta dan kasih yang tidak ada habis-habisnya, yang tiada akhirnya. Endless love, itu tema renungan hari ini. Menurut kamus, endless artinya yang tidak ada habis-habisnya, yang tiada akhirnya. Love artinya kasih. Endless love, cinta kasih yang tiada berakhir kiranya mengaliri Bu Ning sekeluarga dan keluarga besar SMA Kristen 1 Surakarta.

Amin.

Rabu, 31 Maret 2010

रेनुंगन जमात Agung

ISA
(Chairil Anwar)

Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah

rubuh
patah

mendampar tanya: aku salah?

Kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera

mengatup luka
aku bersuka

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

Enam puluhan tahun yang lalu, puisi Isa ditulis. Cobalah baca dengan cermat puisi di atas. Mungkin ada di antara kita yang sangat akrab dengan puisi itu. Mungkin ada yang lupa-lupa ingat tetapi memunculkan nostalgia tertentu. Mungkin ada yang pernah mendengarnya saat dibacakan tapi entah di mana. Tidak tertutup kemungkinan juga, ada yang sama sekali belum pernah membacanya. Puisi Isa di atas ditulis oleh penyair legendaris yang dimiliki Indonesia, Chairil Anwar. Kepenyairan sastrawan ini tidak diragukan lagi. Diakui di Indonesia dan dikenal di dunia. Karya-karyanya menyejarah bahkan mampu memberi dan menggugah inspirasi banyak orang.

Apakah Chairil Anwar seorang Nasrani? Apakah dia seorang Kristen yang taat? Apakah dia seorang penghayat kekristenan? Atau, siapakah dia sehingga mampu menggambarkan peristiwa penderitaan Kristus dengan sangat hebat? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak lebih penting jika dibandingkan dengan apa yang bisa kita hayati dari baris-baris puisinya.

Di peringatan Jumat Agung ini, puisi Isa sengaja dihadirkan. Ada baiknya kita membaca tragedi penyaliban dan kematian Kristus dalam perspektif yang berbeda.Tragedi penyaliban Kristus telah berkali-kali dan berulang-ulang kita baca di empat Injil (Matius 27: 32-44, Markus 15: 21-32, Lukas 23: 33-43, dan Yohanes 19: 17-24). Karena terlalu sering kita baca, catatan keempat Injil itu sering juga menjadi sekadar cerita biasa. Yang lebih buruk, peristiwa itu tidak lagi bercerita apa-apa kepada kita.

Puisi Isa secara dramatis menggambarkan bagaimana Kristus mengalami penderitaan sebelum kematian-Nya. Dari kata-kata yang dipilih: tubuh mengucur darah, rubuh, patah, penderitaan itu menjadi sangat nyata disuguhkan di hadapan kita. Bisa kita bayangkan Kristus yang disiksa itu tubuh-Nya mengucur darah (darah benar-benar mengucur dari luka-lukanya). Tubuh yang mengucur darah itu rubuh (berkali-kali jatuh tersungkur). Tubuh yang mengucur darah itu pun rubuh dan akhirnya patah. Pilihan kata itu untuk menggambarkan bahwa peristiwa yang menimpa Kristus sungguh amat tragis, penderitaan yang sungguh pedih dan perih.

Mengenang kepedihan dan keperihan penderitaan Kristus penting kita lakukan. Pengenangan menjadi salah satu cara untuk berbela rasa. Berbela rasa bukan mengajak kita terjatuh dalam simpati sentimental, terus dikuasai kesedihan dan rasa menyesal berkepanjangan. Pengenangan akan lebih bermakna jika penghayatan penderitaan Kristus menumbuhkan kesadaran rohani sekaligus kesadaran empati komunal dan sosial.

Kesadaran rohani sebagai buah pengenangan penderitaan Kristus akan tercermin dalam perilaku spiritual. Bagaimana kita melakukan ritual ibadah merupakan ukuran kualitas spiritual itu. Kehadiran kita secara wadhag dalam peribadatan-peribadatan adalah penting. Tetapi akan semakin penting ketika kehadiran secara badaniah itu juga diikuti penyerahan rohani yang total sebagai bentuk penghormatan kehadiran Roh Tuhan di tengah-tengah umat. Kadang kita tidak menyadari bahwa kedatangan kita di peribadatan adalah peristiwa mahapenting. Pertemuan yang terjadi adalah pertemuan religius, bertemunya umat dengan Tuhan. Tetapi situasi religius itu kadang tidak tampak.

Peribadatan yang kita langsungkan memang tidak menantikan kehadiran sesuatu yang kasat mata. Yang dinantikan adalah Tuhan Allah yang bersifat Roh. Ketidakkasatmataan itu mestinya membuat setiap orang yang beribadat menjaga kekhidmatan sejak memasuki ruang peribadatan. Siapa tahu yang biasanya dinantikan kehadirannya itu ternyata sudah sejak tadi berada di ruangan, bahkan dengan sopannya mempersilakan kita duduk di dhingklik-dhingklik yang tersedia (Mungkin pemahaman kita tentang menantikan kehadiran Tuhan perlu diganti dengan pemahaman Tuhan selalu menantikan kehadiran kita di peribadatan secara wadhag dan secara roh?).

Lebih lagi dalam merayakan perjamuan seperti yang kita lakukan saat ini. Setiap orang yang sadar bahwa dirinya telah ditebus oleh tubuh berlumur darah, rubuh, dan patah itu, secara pribadi wajib melakukan perayaan perjamuan di dalam dirinya. Bukan sebagai bagian rutin ritual tiga bulanan atau bujono mirunggan tetapi lebih sebagai kesadaran spiritualitas mendalam. Mengingat cacat cela diri, kita semua sebenarnya tidak layak menerima perjamuan itu. Tetapi hanya karena kasih karunia Allah dalam penderitaan dan kematian serta kebangkitan Kristus kita diperkenankan menerima perjamuan kudus itu. Betapa berdosanya kita jika dalam menerima perjamuan tidak melakukannya dengan penuh hormat dan khidmat.

Satu lagi buah pengenangan penderitaan Kristus adalah kesadaran empati komunal dan sosial. Empati komunal dan sosial adalah bentuk nyata penghayatan terhadap kesediaan-Nya menanggung kepedihan dan kesengsaraan. Kesadaran ini harus berwujud sikap dan perilaku meneladani apa yang dikerjakan Kristus selama hidup-Nya. Kristus sepanjang pelayanan-Nya memberi makan mereka yang lapar, menyembuhkan mereka yang sakit, menolong mereka yang tertindas, menguatkan mereka yang lemah, bahkan membangkitkan yang mati.

Ada orang yang kelaparan di sekitar kita. Ada yang lapar secara jasmani dan ada pula yang lapar secara rohani. Ada lagi yang menderita sakit, sakit secara fisik, sakit secara sosial, atau pun yang merasakan sakit hati. Ada yang mengalami penindasan, ada yang kehilangan semangat hidup, ada yang putus asa, dan ada pula yang kehilangan pegangan hidup. Mereka semua perlu uluran tangan. Mereka memerlukan pertolongan kita. Bukan saatnya lagi kita melihat mereka berasal dari komunitas kita atau bukan. Bukan zamannya lagi kita melihat latar sosial orang-orang yang butuh pertolongan itu.

Marilah peringatan Jumat Agung kita jadikan momentum untuk melakukan refleksi. Yakinlah bahwa kesadaran rohani dan kesadaran empati komunal dan sosial tepat untuk memaknai penderitaan Kristus. Pengenangan penderitaan dan kematian Kristus akan semakin tidak bermakna jika pengenangan yang kita lakukan tidak mengubah apa-apa dalam diri kita. Bahkan tubuh berlumur darah, rubuh, dan patah itu hanya akan menjadi sejarah, selanjutnya sebagai cerita lumrah.

Senin, 15 Februari 2010

सतु lagi

MENULIS RENUNGAN*

Siapa Dapat Jadi Penulis?
Semua orang dapat mengarang. Buta huruf atau tidak, tak ada masalah. Bahkan John Milton pun, dalam keadaan buta bisa menjadi penyair kelas dunia. Orang lumpuh, bisu, tua, muda, laki-laki, perempuan, banci, petani, pedagang. Semuanya. Yang penting dapat mengekpresikan diri. Orang gila juga boleh mengarang. Kabarnya baik sebagai bentuk terapi (Eka Budianta)

Mengapa Harus Menulis?
Penulis bagaikan para pendidik agung:
1. Pemikir yang menghormati kebenaran.
2. Pekerja keras yang ingin menggerakkan hal-hal yang terbaik dalam diri manusia.
3. Pemberani dan penuh keyakinan, meski arah yang dituju penuh mara dan tak disukai banyak orang.
4. Manusia yang melihat dunia sebagai satu keseluruhan, yang tahu bahwa manusia sanggup mengangkat dirinya ke kemuliaan bila ada orang yang mengangkat imajinasinya dan menguraikan pandangannya. (Marion van Horne/yoel m. indrasmoro)
Apa yang Akan Ditulis?
Tulisan yang bersifat kristriani tidaklah mesti ditulis khusus mengenai agama, tapi ditulis dari perspektif filsafat hidup seorang Kristen. Pengenalan akan Tuhan memengaruhi pandangan kita terhadap segala pengalaman yang bersifat fisik, sosial, psikologi, intelektual dan rohani; karena itu kita bisa menulis tentang uang, olah raga, seks, penyakit atau politik. Tuhan relevan di dalam semua bidang praktis ini.

Siapa yang Akan Membacanya?
Siapa pembaca tulisan kristiani? Siswa yang canggih, yang juga membaca buku karangan Camus dan Nietzsche. Siswa yang radikal, yang juga membaca karangan Marx dan Lenin. Para petani pindahan dengan kawanan sapi di ladang. Nyonya-nyonya yang kaya. Pedagang di pasar. Kaum ibu muda yang baru belajar membaca. Anak-anak yang keingintahuannya besar. Kakek-kakek yang duduk di kedai teh.Karena mereka berbeda, orang-orang ini membutuhkan jenis tulisan yang berbeda. Jadi, sebelum menulis, kita mesti menentukan siapa pembaca kita (Mariam Adeney)
Apa Manfaatnya?
Demikian juga Alkitab: ” Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Tugas pertama penulis adalah menemukan dan memakai cara-cara yang membuatnya mampu melakukan hal-hal tadi. Ia harus belajar menggambarkan setiap orang, setiap situasi. Semua pengalaman yang tragis, lucu, memalukan, ganas, tak pantas, indah, atau misterius dapat menjadi bahan tulisannya. Ia harus menyampaikan pengalamannya sendiri, walau mungkin ia tidak mengetahui apakah pengalamannya itu ada artinya bagi orang lain. Tetapi, iniah risiko yang harus diambil secara jujur, karena sering nantinya ia akan disalahtafsirkan orang.
Jarang ada penulis yang lahir dengan kemampuan menggunakan kata-kata secara baik. Setiap penulis harus berlatih sampai ia menguasai seninya. Ia membutuhkan disiplin keras, latihan menulis dan menulis ulang (rewrite) yang berat dan berjam-jam.


Bagaimana Kiatnya?
Penulis, yang ingin tulisannya dibaca orang lain, perlu menyadari bahwa ia harus menulis jelas dan sederhana, ringkas dan logis. Bukan hanya keahliannya, tetapi ketulusan, karakter dan pengetahuannya tentang hakikat manusialah yang membuat tulisannya berpengaruh.
Penulis juga harus cepat menyadari bahwa ia bukanlah pencipta asli. Kata-kata yang digunakan dan pemikiran-pemikiran yang diungkapkannya selalu merupakan gema dari sesuatu yang diluar jangkauan imajinasinya yang lemah.
Bagaimana Langkah Praktisnya?
1. Menentukan Ayat Alkitab
2. Menemukan Berita/Isi
3. Menulis Renungan
4. Menyunting Renungan
5. Menyempurnakan Renungan
6. Publikasi


*Disampaikan dalam pelatihan menulis renungan oleh Komisi Studi Pengembangan GKJ Wonogiri Utara.

दिबुंग sayang

Bawaleksana, Manunggal,
Wutuh

Manunggal ing swargo trusing manembah. Sengkalan ini tertulis di atas pintu Gereja Wonokarto, gereja induk GKJ Wonogiri Utara (GKJ WU). GKJ WU dewasa pada tahun 2001. Itu berarti, tahun 2009 GKJ WU memasuki usia ke-8 atau sewindu. Ulang tahun gereja sekaligus ulang tahun tahbisan pendeta, Pdt. Nani Minarni, S.Si.
Ulang tahun ke-8 disepakati untuk dirayakan secara khusus. Khusus yang dimaksud di sini, seluruh pelayanan gereja dalam satu tahun dirangkai sebagai peringatan syukur atas pemeliharaan Tuhan selama delapan tahun. Mengapa peringatan perlu dikhususkan? Apa istimewanya angka delapan? Bukankah angka itu sama dengan angka-angka lain dalam hitungan bilangan?

Memang, angka 8 hanyalah urutan bilangan setelah angka 7. Namun demikian, tanpa bermaksud memagiskan, mengeramatkan, atau bahkan memberhalakan, kita membaca bahwa penciptaan manusia dilakukan Tuhan setelah hari ke-7 (Kejadian 2 : 1-7). Penciptaan manusia dilakukan Tuhan setelah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya. Kalau memang demikian, apa hubungannya dengan ulang tahun ke-8 GKJ WU?

Kesannya memang gathuk entuk, serampangan, khas teologi kaum awam. Tetapi tidaklah berlebihan atau bahkan mengada-ada, jika penghayatan ini kemudian menjadi alasan perayaan ulang tahun sewindu dilakukan dengan istimewa. Kita semua menyadari bahwa Tuhanlah yang berkenan mendewasakan GKJ WU pada tahun 2001. Tahun-tahun berikutnya dipahami oleh umat bahwa Tuhan sedang memperlengkapi GKJ WU untuk semakin menunjukkan kedewasaannya sebagai gereja. Tahun ke-8, kesempatan berharga untuk melakukan refleksi terhadap tujuh tahun perjalanan. Kesempatan untuk becermin. Melihat potret diri secara jujur. Bagian mana yang sudah baik dan perlu ditingkatkan. Terlebih lagi bagian yang masih berlepotan yang perlu dipermak, didempul, atau bahkan dihilangkan.

Refleksi diri membuat seluruh umat menyadari bahwa perjalanan sebagai gereja dewasa sebenarnya baru dimulai. Tahun-tahun awal ibarat hari-hari penciptaan, tidak ada satu pun hal yang sempurna. Tahap demi tahap hingga tahun ke-7 Tuhan berkarya membentuk diri GKJ WU. Tahun ke-8 adalah tahun umat menyambut karya Tuhan itu, menanggapi, dan mempertanggungjawabkannya. Tahun-tahun mendatang tentu semakin berat beban tanggung jawab yang diemban. Dinamika kehidupan umat dan masyarakat akan semakin kompleks. Sebagai gereja dewasa, GKJ WU harus menunjukkan kedewasaannya itu. Bukan sekadar dewasa dalam mengatasi masalahnya sendiri. Lebih dari itu, dewasa dalam mengatasi persoalan kehidupan yang lebih luas. Berlebihankah jika semangat bawaleksana, Manunggal, dan Wutuh dikobarkan dalam peringatan sewindu ini?
Bawaleksana mengandung makna berjiwa besar, memegang teguh kata-kata, bertindak bijaksana, mampu melindungi semua yang ada di bawah tanggung jawabnya, mampu bersifat menjaga amanah dan berbuat adil berdasarkan kejujuran (Ulangan 32:4; I Raja-raja 3:9; Amsal 12:17; Zakaria 8:16). Bawaleksana adalah sifat, sikap, sekaligus laku perbuatan yang harus ada dalam gerak pelayanan gereja. Bawaleksana merupakan karakter yang harus diusahakan mewujud dalam praktik pelayanan sehari-hari. Bawaleksana adalah harapan, cita-cita, sekaligus roh yang mendasari pola pelayanan kini dan masa-masa yang akan datang.

Semboyan bawaleksana sebenarnya hanyalah usaha mengungkap kembali apa yang pernah jadi pergumulan. Saat boyong calon pendeta pada 30 Juni 2000, pihak keluarga dari Kroya menyampaikan harapannya. Semoga calon pendeta nantinya dapat mewarisi sifat, sikap, dan perilaku Ester. Adapun warga jemaat, penatua, dan diaken dapat menjadi Mordekhai-Mordekhai. Masing-masing tumbuh dan berproses bersama dalam pelayanan di ladang pemberian Tuhan, GKJ WU. Sudah selayaknyalah sifat, sikap, dan perilaku Ester maupun Mordekhai nyata dalam cermin hidup bergereja warga GKJ WU tanpa terkecuali.
Manunggal, mencakup manunggalnya pelayan dengan umat, manunggalnya umat dengan sesama, manunggalnya umat dengan masyarakat luas, dan manunggalnya umat dengan alam sekitar. Semuanya itu mendasari gereja untuk Manunggal dengan kehidupan di sekitarnya. Manunggal melalui aktivitas-aktivitas konkret pelayanan sosial. Manunggal lewat kerja sama dengan berbagai lembaga. Manunggal untuk terlibat langsung dan aktif dalam usaha mendorong tumbuhnya kebersamaan. Bersama mencapai tujuan, orientasi, dan visi kehidupan yang lebih baik. Kehidupan dalam rahmat Tuhan.
Wutuh adalah sikap bersatu. Kemauan keras dan hasrat untuk bersatu merupakan salah satu bentuk dari sikap ketakwaan kepada Tuhan. Tetap bersatu sebagai GKJ WU seperti komitmen awal. Gegeran, Gemantar, Tandon, dan Wonokarto. Empat yang satu. Satu yang empat. Dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan berbagai perbedaan dan persamaan masing-masing. Kelebihan dan kekurangan, perbedaan dan persamaan adalah tanda kebesaran dan keagungan Tuhan Yang Mahaluhur. Perbedaan tingkatan sosial, tingkat kecerdasan, dan perbedaan-perbedaan lain sebenarnya bukan alasan untuk terpecah belah.

Perbedaan menghadirkan gerak dinamis untuk saling membutuhkan, saling mengikatkan diri. Jika dapat dipersatukan dalam komposisi yang serasi dan sinergis, niscaya akan menjadi energi positif dan kreatif menuju hidup yang semakin baru. Hidup baru yang harmonis membawa umat memiliki satu tujuan hidup, melayani Tuhan dalam ungkapan syukur.

Sewindu GKJ WU menyadarkan betapa Allah sangat mengasihi gereja ini. Kasih itu nampak bukan saja melimpahnya berkat. Melalui kritik, otokritik, saran, maupun masukan berbagai pihak, Tuhan sedang mendewasakan gereja-Nya.
Selamat Ulang Tahun GKJ WU, Tuhan memberkatimu!


Ely Prihmono Suwarso Putro

Sabtu, 06 Februari 2010

Inovasi

PENERAPAN METODE PUBER
DALAM PEMBELAJARAN PEMENTASAN DRAMA DI SMA

(Model Pembelajaran Berbicara di SMA Kristen 1 Surakarta)
Ely Prihmono Suwarso Putro

PENDAHULUAN
Pembelajaran Bahasa Indonesia mencakup empat aspek keterampilan berbahasa. Keempat aspek keterampilan berbahasa itu meliputi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam pelaksanaan, keempat aspek tersebut perlu diusahakan atau minimal mencakup dua aspek. Misalnya, (1) mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis, (2) membaca, berbicara, dan menulis, atau (3) menulis dan berbicara (BSNP, 2007: iv).
Kompetensi memerankan tokoh dalam pementasan drama termasuk salah satu yang harus dikuasai oleh peserta didik kelas XI. Kompetensi ini bagian dari standar kompetensi berbicara yang harus dikuasai selama dua semester. Di dalamnya dimuat dua standar kompetensi yaitu memerankan tokoh dalam pementasan drama dan mengungkapkan wacana sastra dalam bentuk pementasan drama.
Pada dua standar kompetensi tersebut terdapat masing-masing dua kompetensi dasar. Kompetensi dasar yang pertama adalah memerankan tokoh dalam pementasan drama. Kompetensi ini memuat kompetensi dasar menyampaikan dialog disertai gerak-gerik dan mimik, sesuai dengan watak tokoh dan mengekspresikan perilaku dan dialog tokoh protagonis dan atau antagonis.
Kompetensi dasar mengungkapkan wacana sastra dalam bentuk pementasan drama juga mencakup dua kompetensi. Kompetensi tersebut : mengekspresikan dialog para tokoh dalam pementasan drama dan menggunakan gerak-gerik, mimik, dan intonasi, sesuai dengan watak tokoh dalam pementasan drama. Kompetensi-kompetensi tersebut bukanlah kompetensi yang sederhana dan mudah untuk dicapai.
Pencapaian terhadap kompetensi yang tidak sederhana itu memerlukan kesungguhan dan kecermatan dalam proses pembelajarannya. Kesungguhan dan kecermatan menuntut guru lebih bekerja keras dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya. Guru harus kreatif dalam memilih metode pembelajaran. Guru perlu variatif dalam menentukan media pembelajaran. Guru dituntut inovatif dalam penyajian materi pembelajaran. Dan tentunya, guru siap melakukan perubahan dalam proses pembelajaran.
Tuntutan, harapan, dan kewajiban tersebut sangat berkait dengan dinamika pendidikan yang terus berubah. Minimal, guru harus mengubah paradigma berpikir. Perkembangan dan perubahan di segala bidang telah mengubah ilmu pendidikan. Demikian juga pendidikan bahasa di sekolah. Tantangan perubahan zaman merupakan fakta yang tidak dapat dihindari oleh guru.
Perubahan proses pembelajaran tidak hanya pada cara menyampaikan materi pelajaran di kelas tetapi juga perlu melakukan perubahan dalam sistem penilaian. Sistem penilaian yang dilakukan guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan keseluruhan kegiatan pembelajaran. Untuk itulah diperlukan penilaian yang tepat, sesuai dengan aspek yang sedang dinilai.
Kenyataan di lapangan, penilaian dalam pembelajaran bahasa Indonesia belum semuanya mengukur kompetensi peserta didik. Penilaian menyimak belum mengoptimalkan keterampilan menyimak informasi secara lisan. Penilaian berbicara belum memberi kesempatan peserta didik berbicara. Penilaian menulis belum semuanya memfokuskan pada produk-produk tulisan siswa.
Sudah saatnya melakukan perubahan dalam praksis pembelajaran bahasa Indonesia. Perubahan dalam kegiatan pembelajaran lebih tepat disebut pembaruan proses pembelajaran. Pembaruan lebih disebabkan oleh tuntutan perkembangan yang terjadi pada peserta didik.
Kondisi peserta didik sangat beragam latar belakangnya. Keberagaman tanpa disadari menjadi kendala dalam kegiatan mengajar belajar. Contohnya, motivasi belajar yang berbeda-beda merupakan salah satu kendala dalam proses belajar mengajar sekarang ini. Selain itu, kendala-kendala lain ditemukan pada konsentrasi, minat, lingkungan, sarana prasarana, waktu, dan lain-lain.
Mengingat begitu kompleksnya masalah belajar mengajar, guru harus sadar bahwa tugasnya tidak hanya mengajar peserta didik. Artinya, tugas seorang guru tidak hanya menyampaikan materi pelajaran kepada murid-muridnya. Guru bertugas menumbuhkan minat siswa terhadap materi pelajaran. Guru bertugas mengembangkan motivasi peserta didik mengikuti pelajaran. Guru juga berkewajiban membangun konsentrasi dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk para siswanya.
Permasalahan pembelajaran di atas menjadi salah satu bagian yang melatarbelakangi tulisan ini. Motivasi yang kurang, konsentrasi yang tidak maksimal, minat yang rendah, rasa percaya diri yang kurang, juga dialami peserta didik dalam pembelajaran berbicara. Tulisan ini menguraikan metode pembelajaran berbicara di SMA hasil penggabungan beberapa strategi. Proses pembelajaran berbicara dalam tulisan ini menggunakan metode yang diberi nama PUBER. PUBER merupakan akronim dari beberapa istilah yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup tulisan ini adalah metode PUBER dalam pembelajaran berbicara di SMA Krsiten 1 Surakarta. Hal-hal yang akan diuraikan meliputi pengertian metode PUBER, langkah-langkah persiapan pembelajaran dengan metode PUBER, langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran dengan metode PUBER, teknik penilaian pembelajaran dengan metode PUBER, dan hasil pembelajaran dengan metode PUBER.
SAJIAN DEFINISI
Prediksi Akhir Cerita
Prediksi akhir cerita merupakan tahap pertama dalam metode PUBER. Iskandarwassid (2008 : 288) menyebut prediksi akhir cerita dengan istilah teknik melanjutkan cerita. Prediksi akhir cerita atau teknik melanjutkan cerita adalah kegiatan meramalkan akhir sebuah cerita yang disajikan. Kepada peserta didik disodorkan sebuah penggalan naskah drama. Bagian akhir dari naskah drama tersebut sengaja dihilangkan. Siswa diberi tugas melanjutkan cerita dengan cara menafsirkan akhir dari cerita yang disampaikan kepadanya.
Secara berkelompok, peserta didik diminta mendiskusikan kemungkinan akhir cerita naskah drama tersebut. Cara ini memberi kebebasan kepada tiap-tiap kelompok mengembangkan daya khayal mereka. Berkembangnya imajinasi diharapkan menghasilkan ending cerita yang variatif.
Prediksi akhir cerita dimaksudkan sebagai pelibatan (engage) siswa secara langsung pada aktivitas pembelajaran. Dalam CTL (contextual teaching learning, pelibatan siswa disebut membangun keterkaitan (Johnson, 2006 : 147). Membangun keterkaitan memungkinkan peserta didik memengaruhi konteks tempat mereka tinggal. Dengan membangun keterkaitan, peserta didik diharapkan menemukan makna yang berguna untuk meningkatkan pengetahuan dan memperdalam wawasan. Pada akhirnya, kegiatan itu akan sangat bermanfaat bagi proses pembelajaran selanjutnya yang pada giliranya akan berpengaruh pula pada pencapaian keberhasilan seluruh proses pembelajaran.
Ubah Akhir Cerita ke Naskah Drama
Mengubah akhir cerita ke naskah drama merupakan tahap kedua dalam metode PUBER. Pada tahap ini, kelompok-kelompok ditugasi mengubah akhir cerita hasil prediksi mereka ke dalam bentuk dialog naskah drama. Kelompok diberi kebebasan untuk menghadirkan sejumlah tokoh dalam naskah tersebut beserta dengan dialog-dialognya.
Setiap anggota kelompok mempunyai peran dan tanggung jawab yang sama. Mereka bebas menyumbangkan ide kreatifnya untuk kesempurnaan naskah drama kelompok mereka. Semakin banyak yang menyumbangkan gagasan kreatif semakin sempurnalah naskah drama yang dihasilkan oleh setiap kelompok.
Penyusunan naskah drama secara berkelompok dimaksudkan memberi pengalaman bekerja sama pada setiap siswa. Pola kerja sama diyakini banyak mendatangkan keuntungan bagi peserta didik. Kerja sama dalam menyelesaikan tugas dapat menghilangkan hambatan mental akibat terbatasnya pengalaman dan cara pandang yang sempit (Johnson, 2006 : 164).
Kerja sama memungkinkan siswa menemukan kekuatan dan kelemahan diri, belajar menghargai orang lain, mendengar dengan pikiran terbuka, dan membangun persetujuan bersama. Kerja sama yang tercipta membuat anggota kelompok memiliki keterikatan satu sama lain. Keterikatan tersebut secara emosional memberi keuntungan pada tahap berikutnya. Prinsip kerja sama ini sangat dibutuhkan dalam tahapan-tahapan penerapan metode PUBER dalam pembelajaran pementasan drama.
Bermain Peran (Role Playing)
Bermain peran merupakan tahap ketiga metode PUBER. Bermain peran merupakan salah satu teknik yang dapat dipakai dalam pembelajaran keterampilan berbicara tingkat pemula (Iskandarwassid: 2008 : 287). Kegiatan ini dilanjutkan dengan teknik dramatisasi, teknik yang tepat untuk pembelajaran berbicara tingkat menengah dan tingkat lanjut.
Penerapan metode PUBER menggabungkan kegiatan bermain peran dan dramatisasi secara berkelanjutan. Langkah-langkah yang dianggap tepat untuk dilaksanakan pada tahap ini disampaikan oleh Shaftel. The Shaftels suggest that the role-playing activity consist of nine steps: (1) warm up the group, (2) select participants, (3) set the stage, (4) prepare observers, (5) enact, (6) discuss and evaluate, (7) reenact, (8) discuss and evaluate, and (9) share expreriences and generalize (Joyce, 1996 : 94).
Kegiatan bermain peran melibatkan peserta didik dalam situasi tertentu yang telah direncanakan. Mereka diminta membayangkan situasi yang dimasukinya dan harus bertindak sesuai dengan situasi tersebut. Kegiatan ini menciptakan kemungkinan pelatihan bagi peserta didik untuk memperoleh keterampilan seperti yang diharapkan dalam tujuan pembelajaran.
Dalam PUBER, peserta didik memerankan tokoh-tokoh yang terdapat pada teks drama kreasi mereka. Anggota kelompok berdiskusi untuk menentukan dan memilih tokoh-tokoh yang akan diperankan. Mereka dapat membicarakan secara akrab peran yang diinginkan atau peran yang cocok dengan karakter masing-masing.
Teks buatan sendiri diharapkan lebih mudah dipahami dan dihayati. Dengan demikian, penghayatan terhadap tokoh dan karakternya juga lebih mudah diperankan.
Evaluasi
Tahap keempat dalam penerapan metode PUBER adalah evaluasi. Karena PUBER dipakai dalam pembelajaran berbicara, instrumen penilaian yang dipergunakan adalah instrumen untuk penilaian berbicara.
Evaluasi dalam PUBER menerapkan authentic assesment, penilaian otentik. Penilaian otentik melepaskan siswa dari tekanan-tekanan selama proses penilaian (Kaufman, 1980). Teknik penilaian menggunakan prinsip-prinsip penilaian berbasis kelas (classroom based assesment). Dalam hal ini, penilaian mengacu buku Model Penilaian Kelas Kurikulum Berbasis Kompetensi (BSNP, 2007).
Penilaian yang tepat digunakan untuk mengukur kompetensi berbicara adalah teknik penilaian unjuk kerja. Kompetensi setiap siswa diamati menggunakan lembar pengamatan yang sekaligus dipakai untuk lembar penilaian (Nurgiyantoro, 2001: 276-296). Aspek-aspek yang dinilai didasarkan pada indikator pencapaian kompetensi. Alat penilaian atau instrumen yang dipergunakan adalah rating scale (skala penilaian) dengan penyesuaian secukupnya (BSNP, 2007: 8).
Refleksi
Refleksi dilakukan dengan mengumpulkan catatan-catatan yang dibuat oleh guru maupun pengamat lain selama proses pembelajaran berlangsung. Catatan-catatan didentifikasi untuk dianalisis. Hasil analisis dikelompokkan ke dalam hal positif dan hal negatif. Hal-hal positif dimaksudkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Adapun hal-hal negatif yang ditemukan harus dicari solusinya.
Refleksi dilakukan untuk mentransformasi pernyataan menjadi pertanyaan (Syamsuddin A.R., 2007 : 195). Seluruh data dipahami sebagai fakta yang harus ditafsirkan secara jujur. Kelebihan maupun kekurangan memungkinkan dirumuskannya rekomendasi untuk tindakan perbaikan.
Mengacu apa yang disampaikan oleh Shaftel di atas, refleksi meliputi kegiatan discuss and evaluate, reenact, discuss and evaluate (tahap kedua), dan share expreriences and generalize. Dengan demikian, pelaksanaan pembelajaran pementasan drama dengan metode PUBER membantu peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan.
Analisis Hasil Kegiatan Pembelajaran
Hasil Prediksi Akhir Cerita
Prediksi akhir cerita drama ditanggapi peserta didik sangat antusias. Mereka merasa diberi kepercayaan dan kesempatan berekspresi. Hal tersebut tampak pada kegiatan diskusi yang berlangsung. Setiap peserta didik berusaha menyampaikan pendapat dan penghayatannya terhadap naskah yang dibacanya.
Prediksi terhadap akhir cerita drama ”Domba-domba Revolusi” sangat beragam. Hal ini menunjukkan imajinasi peserta didik berkembang dengan baik. Mereka melakukan penghayatan berdasar pemahaman dan kreativitas berpikir mereka. Penghayatan ini menjadi indikator penguasaan kompetensi peserta didik terhadap cerita drama tersebut.
Dari sepuluh hasil prediksi akhir cerita, ada dua bagian besar yang perlu dicermati. Dua bagian besar itu didasarkan oleh dua tanggapan peserta didik. Tanggapan pertama didasarkan pada empati terhadap tokoh-tokoh drama. Tanggapan kedua didasarkan pada kemungkinan nasib tokoh-tokoh drama di tengah konflik dan situasi perang.
Empati yang ditunjukkan kepada tokoh-tokoh drama dapat ditemukan pada beberapa akhir cerita berikut ini. (1) Penyair dan perempuan menikah dan membangun sebuah losmen baru di Kota Tengah tersebut. (2) Akhirnya perempuan dan penyair pergi dari kota itu dan menikah di kota lain, melupakan kenangan buruk kota itu dan membangun kehidupan baru yang mereka inginkan. (3) Akhir cerita bahagia dan romantis. Si perempuan dan penyair akhirnya bersatu dalam pernikahan di tengah kota yang kacau. (4) Keadaan pun menjadi aman karena para tentara sudah ditarik mundur dan keadaan mulai berangsur-angsur baik, penyair dan perempuan menjadi pasangan suami isteri.
Tanggapan yang didasarkan pada kemungkinan nasib tokoh di tengah konflik dapat dicermati pada akhir cerita berikut ini. (1) Perempuan dan penyair menikah, tetapi di hari pernikahan itu datang seorang tentara yang membunuh penyair. (2) Semua tokoh meninggal dunia karena diserbu oleh tentara musuh. (3) Akhirnya keempat lelaki dan seorang perempuan pemilik losmen tewas, karena losmen yang mereka tinggali telah dihancurkan oleh tentara musuh dengan bom. (4) Beberapa saat setelah penyair dan perempuan asyik ngobrol, datanglah tentara-tentara yang tidak dikenal. Mereka merusak dan menjebol pintu losmen tersebut. (5) Si penyair akhirnnya rela mati demi melindungi si perempuan pemilik losmen dari tembakan musuh. Setelah penyair mati, mereka semua pindah ke kota lain yang lebih aman. (6) Cerita berakhir dengan menyedihkan dan mengharukan, penyair meninggal dunia disusul perempuan pemilik losmen.
Naskah Drama
Kegiatan mengubah akhir cerita menjadi naskah drama memotivasi peserta didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Minat mereka terhadap KBM meningkat. Diskusi kelompok dalam kegiatan penyusunan naskah lebih bergairah. Masing-masing peserta didik berusaha menyumbangkan ide secara sukarela seiring dengan dinamika pembicaraan dalam kelompok.
Produk hasil diskusi kelompok dapat dikatakan baik. Terbukti, naskah drama hasil perubahan cukup baik. Dialog-dialog yang ditulis meski pendek-pendek cukup memberi gambaran watak masing-masing tokoh.
Dari dua contoh yang disajikan di atas, naskah drama kreasi peserta didik sudah dilengkapi dengan catatan dan narasi-narasi yang membantu pementasan. Catatan dan narasi sangat berguna untuk persiapan pementasan. Di samping itu, membantu pemeran dalam menghayati peran masing-masing.
Nilai Pementasan Peserta Didik
Hasil penilaian terhadap pementasan naskah drama cukup baik. Dari tabel penilaian, nilai terendah 51 sedangkan nilai tertinggi 89. Rata-rata kelas nilai peserta didik 66,10. Rata-rata kelas 66,10 lebih dari cukup.
Paparan nilai peserta didik dalam pementasan memberi gambaran yang sangat jelas hasil pembelajaran. Dari 29 orang, dua peserta didik (6,89 %) mendapat nilai kurang dari 60. Sebanyak 21 peserta didik (72,41 %) mendapat nilai di antara 60 – 69. Dua peserta didik (6,89 %) mendapat nilai di antara 70 – 79. Adapun empat peserta didik (13,79 %) mendapat nilai di antara 80 – 90.
Data nilai di atas menunjukkan tingkat efektivitas pembelajaran dengan metode PUBER. Efektivitas berkaitan dengan tingkat keberhasilan pembelajaran yang dilakukan. Efektivitas yang tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan peserta didik dalam seluruh rangkaian proses belajar. Seluruh peserta didik, tanpa terkecuali, terlibat aktif dalam tahapan-tahapan PUBER.
PENUTUP
Simpulan
Metode PUBER dalam pembelajaran pementasan drama cukup efektif. Efektivitas tersebut dapat dilihat pada beberapa hal di bawah ini.
1. Motivasi peserta didik cukup tinggi dalam kegiatan belajar mengajar.
2. Partisipasi peserta didik cukup tinggi dalam proses belajar mengajar yang belangsung.
3. Tingkat keterlibatan peserta didik sangat intens dalam seluruh tahapan pembelajaran.
4. Peserta didik sangat antusias dalam mengikuti seluruh tahapan pembelajaran.
5. Hasil penilaian terhadap pementasan cukup memuaskan.
Saran
1. Metode PUBER agar dicoba sebagai variasi pembelajaran berbicara, khususnya drama, untuk mengatasi kejenuhan peserta didik maupun guru.
2. Metode PUBER agar dijadikan alternatif dalam pembelajaran berbicara di SMA.
3. Metode PUBER agar diteliti untuk mengetahui tingkat efektivitasnya dalam pembelajaran berbicara di SMA.
4. Metode PUBER agar diteliti lebih lanjut untuk mengetahui tingkat keilmiahan hasil yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
BSNP. 2007. Petunjuk Teknis Pengembangan Silabus dan Contoh / Model Silabus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
——– 2007. Model Penilaian Kelas Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Genesee, Fred and John A. Upshur. 1996. Classroom-based Evaluation in Second Language Education. Cambridge: Cambridge University Press.
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI dan PT Remaja Rosdakarya.
Johnson, Elaine B. 2006. Contextual Teaching and Larning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna (Penerjemah: Ibnu Setiawan). Bandung: MLC.
Joyce, Bruce and Marsha Weil. 1996. Models of Teaching (5th ed.). Needham Height, Mass. : A Simon & Schuster Company.
Kaufman, Roger and Susan Thomas. 1980. Evaluation Without Fear. New York: New Viewpoints.
Keraf, Gorys dan J.D. Parera. 2003. Terampil Berbahas Indonesia 2.(Edisi Revisi). Jakarta: Balai Pustaka.
Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra (Edisi Ketiga). Yogyakarta: BPFE.
Syamsuddin A.R. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa (Cetakan kedua). Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI dan PT Remaja Rosdakarya.

Empati

Cerita Seorang Teman
(Sebuah Kenangan Korban Narkoba)

Seorang teman bercerita kepadaku:
Hidup kita ini hanyalah sebatas bilangan hari
Banyak pilihan untuk mengisi
Kalau ada senang mengapa pilih susah
Kalau ada gembira mengapa pilih derita
Kalau ada suka mengapa pilih duka
Kalau ada bahagia mengapa pilih nestapa

Begitulah katanya kepadaku sambil menghisap barang haram
Hisap hisap hisap
Dia melayang meninggalkan dunia nyata
Apa yang di benaknya hanya gembira
Dia melayang meninggalkan dunia nyata
Menikmati surga dalam mimpinya

Seorang teman bercerita kepadaku:
Hari ini dunia benar-benar berduka
Seonggok mayat kaku di pinggir desa
Seorang pemuda masih belia
Hari-harinya sebenarnya masih panjang
Sayang
Dia mati muda
Mimpi membawanya pada bencana

Demikian katanya kepadaku
Sambil menunjukkan sisa hisapan kematian
Dia bercerita dengan wajah duka
Air mata di sudut pelupuknya
Hari ini dunia benar-benar berduka

Rabu, 27 Januari 2010

Pengakuan

Pengakuan
Agustus 2007 dengan bekal sisa hadiah Finalis LKG Nasional 2006 aku nekat mendaftar kuliah di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Nekat karena modal hanya cukup untuk bayar uang kuliah satu semester. Keperluan lain-lain untuk operasional perkuliahan ngutang sana ngutang sini. Kebutuhan buku bagiku tidak masalah karena kampus menyediakan begitu banyak referensi yang dibutuhkan. Dari buku-buku, literatur, sampai jurnal internasional semua tersedia. Dahagaku baca buku terpuaskan. Secara rutin, hari Rabu dan Sabtu hari wajib perpustakaan. Hingga di setiap lembar daftar hadir hampir tercatat namaku.

Panas matahari tidak menyurutkan semangat belajarku. Berdesakan dengan anak-anak sekolah di atas bus kota menjadi seni hidup yang nikmat. Setiap kali pulang sekolah (mengajar) aku menunggu bus di depan sekolah yang akan mengantarkan ke kampus. Dari gerbang pascasarjana kulangkahi aspal hitam hingga ke tempat kuliah. Jalan kaki menjadi aktivitas yang menyenangkan di antara rimbunan pohon kepeng dan sosis.
Hujan sedikit pun tidak mengurangi motivasiku belajar. Banjir Solo memaksa semua kendaraan dari arah Sukoharjo ke Solo memutar lewat Bekonang. Banjir hanyalah jumlah air yang melebihi kuota seharusnya. Tidak. Itu tetap tidak akan memengaruhi geloraku belajar, meski aku akhirnya pulang mendahului karena kalau tidak tidak dapat angkutan untuk pulang.

Hujan banjir dan panas terik tidak pernah menggoyahkan keinginan studi. Tekadku satu: nyantri short time di UMS. Aku ingin belajar banyak hal dari ulama-ulama kampus yang ada di sana.

Bersyukur. Tahun 2008 dapat hadiah III Lomba Menulis Esai Tingkat Nasional. Hadiahnya dapat dipakai untuk membayar uang semester terakhir. Tentu ini berkah Tuhan yang senantiasa melimpah.

Sabtu, 23 Januari 2010 berakhir sudah kerja keras untuk menyelesaikan S2. Dengan predikat cumlaude, usaha selama ini tentu tidak menjadi sia-sia. Tentu ini bukan akhir kisah perjalanan mencari ilmu dan pengetahuan. Predikat cumlaude hanyalah pengakuan secara akademis. Dan itu tentu awal untuk pengembaraan panjang. Nyantri pada kehidupan sebenarnya baru dimulai.