Senin, 15 Februari 2010

दिबुंग sayang

Bawaleksana, Manunggal,
Wutuh

Manunggal ing swargo trusing manembah. Sengkalan ini tertulis di atas pintu Gereja Wonokarto, gereja induk GKJ Wonogiri Utara (GKJ WU). GKJ WU dewasa pada tahun 2001. Itu berarti, tahun 2009 GKJ WU memasuki usia ke-8 atau sewindu. Ulang tahun gereja sekaligus ulang tahun tahbisan pendeta, Pdt. Nani Minarni, S.Si.
Ulang tahun ke-8 disepakati untuk dirayakan secara khusus. Khusus yang dimaksud di sini, seluruh pelayanan gereja dalam satu tahun dirangkai sebagai peringatan syukur atas pemeliharaan Tuhan selama delapan tahun. Mengapa peringatan perlu dikhususkan? Apa istimewanya angka delapan? Bukankah angka itu sama dengan angka-angka lain dalam hitungan bilangan?

Memang, angka 8 hanyalah urutan bilangan setelah angka 7. Namun demikian, tanpa bermaksud memagiskan, mengeramatkan, atau bahkan memberhalakan, kita membaca bahwa penciptaan manusia dilakukan Tuhan setelah hari ke-7 (Kejadian 2 : 1-7). Penciptaan manusia dilakukan Tuhan setelah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya. Kalau memang demikian, apa hubungannya dengan ulang tahun ke-8 GKJ WU?

Kesannya memang gathuk entuk, serampangan, khas teologi kaum awam. Tetapi tidaklah berlebihan atau bahkan mengada-ada, jika penghayatan ini kemudian menjadi alasan perayaan ulang tahun sewindu dilakukan dengan istimewa. Kita semua menyadari bahwa Tuhanlah yang berkenan mendewasakan GKJ WU pada tahun 2001. Tahun-tahun berikutnya dipahami oleh umat bahwa Tuhan sedang memperlengkapi GKJ WU untuk semakin menunjukkan kedewasaannya sebagai gereja. Tahun ke-8, kesempatan berharga untuk melakukan refleksi terhadap tujuh tahun perjalanan. Kesempatan untuk becermin. Melihat potret diri secara jujur. Bagian mana yang sudah baik dan perlu ditingkatkan. Terlebih lagi bagian yang masih berlepotan yang perlu dipermak, didempul, atau bahkan dihilangkan.

Refleksi diri membuat seluruh umat menyadari bahwa perjalanan sebagai gereja dewasa sebenarnya baru dimulai. Tahun-tahun awal ibarat hari-hari penciptaan, tidak ada satu pun hal yang sempurna. Tahap demi tahap hingga tahun ke-7 Tuhan berkarya membentuk diri GKJ WU. Tahun ke-8 adalah tahun umat menyambut karya Tuhan itu, menanggapi, dan mempertanggungjawabkannya. Tahun-tahun mendatang tentu semakin berat beban tanggung jawab yang diemban. Dinamika kehidupan umat dan masyarakat akan semakin kompleks. Sebagai gereja dewasa, GKJ WU harus menunjukkan kedewasaannya itu. Bukan sekadar dewasa dalam mengatasi masalahnya sendiri. Lebih dari itu, dewasa dalam mengatasi persoalan kehidupan yang lebih luas. Berlebihankah jika semangat bawaleksana, Manunggal, dan Wutuh dikobarkan dalam peringatan sewindu ini?
Bawaleksana mengandung makna berjiwa besar, memegang teguh kata-kata, bertindak bijaksana, mampu melindungi semua yang ada di bawah tanggung jawabnya, mampu bersifat menjaga amanah dan berbuat adil berdasarkan kejujuran (Ulangan 32:4; I Raja-raja 3:9; Amsal 12:17; Zakaria 8:16). Bawaleksana adalah sifat, sikap, sekaligus laku perbuatan yang harus ada dalam gerak pelayanan gereja. Bawaleksana merupakan karakter yang harus diusahakan mewujud dalam praktik pelayanan sehari-hari. Bawaleksana adalah harapan, cita-cita, sekaligus roh yang mendasari pola pelayanan kini dan masa-masa yang akan datang.

Semboyan bawaleksana sebenarnya hanyalah usaha mengungkap kembali apa yang pernah jadi pergumulan. Saat boyong calon pendeta pada 30 Juni 2000, pihak keluarga dari Kroya menyampaikan harapannya. Semoga calon pendeta nantinya dapat mewarisi sifat, sikap, dan perilaku Ester. Adapun warga jemaat, penatua, dan diaken dapat menjadi Mordekhai-Mordekhai. Masing-masing tumbuh dan berproses bersama dalam pelayanan di ladang pemberian Tuhan, GKJ WU. Sudah selayaknyalah sifat, sikap, dan perilaku Ester maupun Mordekhai nyata dalam cermin hidup bergereja warga GKJ WU tanpa terkecuali.
Manunggal, mencakup manunggalnya pelayan dengan umat, manunggalnya umat dengan sesama, manunggalnya umat dengan masyarakat luas, dan manunggalnya umat dengan alam sekitar. Semuanya itu mendasari gereja untuk Manunggal dengan kehidupan di sekitarnya. Manunggal melalui aktivitas-aktivitas konkret pelayanan sosial. Manunggal lewat kerja sama dengan berbagai lembaga. Manunggal untuk terlibat langsung dan aktif dalam usaha mendorong tumbuhnya kebersamaan. Bersama mencapai tujuan, orientasi, dan visi kehidupan yang lebih baik. Kehidupan dalam rahmat Tuhan.
Wutuh adalah sikap bersatu. Kemauan keras dan hasrat untuk bersatu merupakan salah satu bentuk dari sikap ketakwaan kepada Tuhan. Tetap bersatu sebagai GKJ WU seperti komitmen awal. Gegeran, Gemantar, Tandon, dan Wonokarto. Empat yang satu. Satu yang empat. Dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan berbagai perbedaan dan persamaan masing-masing. Kelebihan dan kekurangan, perbedaan dan persamaan adalah tanda kebesaran dan keagungan Tuhan Yang Mahaluhur. Perbedaan tingkatan sosial, tingkat kecerdasan, dan perbedaan-perbedaan lain sebenarnya bukan alasan untuk terpecah belah.

Perbedaan menghadirkan gerak dinamis untuk saling membutuhkan, saling mengikatkan diri. Jika dapat dipersatukan dalam komposisi yang serasi dan sinergis, niscaya akan menjadi energi positif dan kreatif menuju hidup yang semakin baru. Hidup baru yang harmonis membawa umat memiliki satu tujuan hidup, melayani Tuhan dalam ungkapan syukur.

Sewindu GKJ WU menyadarkan betapa Allah sangat mengasihi gereja ini. Kasih itu nampak bukan saja melimpahnya berkat. Melalui kritik, otokritik, saran, maupun masukan berbagai pihak, Tuhan sedang mendewasakan gereja-Nya.
Selamat Ulang Tahun GKJ WU, Tuhan memberkatimu!


Ely Prihmono Suwarso Putro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar