Rabu, 27 April 2011

पेनुतुपन April

Metafora Bahtera Nuh
Kajadian 7: 1- 4

7:1 Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Nuh: "Masuklah ke dalam bahtera itu, engkau dan seisi rumahmu, sebab engkaulah yang Kulihat benar di hadapan-Ku di antara orang zaman ini. 7:2 Dari segala binatang yang tidak haram haruslah kauambil tujuh pasang, jantan dan betinanya, tetapi dari binatang yang haram satu pasang, jantan dan betinanya; 7:3 juga dari burung-burung di udara tujuh pasang, jantan dan betina, supaya terpelihara hidup keturunannya di seluruh bumi. 7:4 Sebab tujuh hari lagi Aku akan menurunkan hujan ke atas bumi empat puluh hari empat puluh malam lamanya, dan Aku akan menghapuskan dari muka bumi segala yang ada, yang Kujadikan itu."


Ibu Bapak tentu sudah sangat akrab dengan kisah Nuh dan bahteranya. Bahtera yang dibuat di tengah ketidaklogisan itu menjadi penyelamat Nuh, keluarga, dan berbagai makhluk hidup yang lainnya. Bahtera dari kayu gofir itu berpetak-petak, ditutup dengan pakal dari luar dan dari dalam, pintunya ada pada lambungnya, bertingkat bawah, tengah, dan atas. Semua itu dibangun dengan memerhatikan faktor kebutuhan dan keselamatan. Konsep savety first menjadi hal utama. Dan, kita semua tahu cerita selanjutnya. Semua yang berada di dalam bahtera akhirnya selamat.

Ibu Bapak, hari ini saya akan menyampaikan bagian yang belum Ibu Bapak ketahui. Konon, bahtera itu suatu ketika dipakai dalam pelayaran nostalgia. Semacam pelayaran wisata menikmati kejayaan masa lampau. Tetapi, tanpa sepengetahuan dari mereka yang sedang menikmati hidup, bahtera itu ternyata menjadi sarang beberapa jenis binatang. Beberapa binatang itu ada yang termasuk pengerat. Ada tikus, tupai, berang-berang, dan beberapa jenis burung pelatuk.

Pelayaran wisata itu berlangsung sangat lama, hampir seperti peristiwanya, Nuh berumur enam ratus tahun sampai enam ratus satu tahun. Seiring dengan lamanya waktu pelayaran, beberapa binatang mulai mengerat papan-papan kayu bahtera. Bukan dengan tujuan tertentu tetapi sesuai kodratnya, pengerat kalau tidak mengerat bukan pengerat. Sementara itu, burung pelatuk mulai mematuk tiang-tiang kayu bahtera. Masa kawin memaksanya untuk segera membuat sarang.

Bisa kita bayangkan. Lama-kelamaan, muncul lubang di dinding bahtera. Tanpa disadari, bahtera yang awalnya menjadi penyelamat itu menjadi tempat kematian seluruh penumpangnya.

Ibu Bapak, kisah lanjutan bahtera Nuh hanyalah metafora. Seperti kebiasaan Tuhan Yesus mengajar dengan perumpamaan, bahtera Nuh adalah perumpamaan. Biasanya kita mendengar pengajaran yang meninabobokan. Sering kita mendengar pengajaran yang menenteramkan. Tetapi hari ini, kita belajar hal yang tidak enak. Kita tidak sedang minum susu. Kita akan makan sesuatu yang lebih keras.

Mari kita belajar dari bahtera Nuh ini. Sekolah ini ibarat bahtera Nuh di pelayaran kedua. Ada yang ingin menikmati suasana yang nyaman, ada yang ingin menikmati kejayaan masa lampau, ada yang ingin bernostalgia. Tanpa kita sadari kita juga mulai mengerat karena dalam diri kita memang ada sifat. Tanpa kita sadari pula kita mulai mematuk-matuk untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Kepentingan lebih besar untuk melakukan tugas dan tanggung jawab secara baik mulai tidak kita penuhi.

Mungkin kita berpikir, bahwa yang kita lakukan hanya perkara kecil. Ah hanya administrasi guru. Ah hanya administrasi kepala sekolah. Ah hanya administrasi tu. Dan ah-ah yang lain. Tidak memenuhi administrasi itu perbuatan koruptif. Mulanya memang sekadar ah-ah itu yang kita anggap hal kecil. Tetapi ah-ah itu akan terakumulasi menjadi sifat yang korup yang lebih besar.

Sekolah ini organisasi. Seperti halnya dengan bahtera Nuh, tidak boleh ada keratan-keratan sekecil apa pun. Apalagi gerogotan-gerogotan dengan alasan kepentingan tertentu. Ingatlah harga yang harus di bayar adalah tenggelamnya bahtera organisasi ini. Di bahtera ini ada banyak yang berlindung, isteri, suami, anak-anak, dan naggota keluarga yang lain.

Sebelum terlambat, sifat-sifat pengerat harus kita buang jauh-jauh. Sebelum terlambat kita buang jauh-jauh hasrat menggerogoti organisasi. Karena kalau sudah mulai tenggelam Ibu Bapak harus siap membayar harganya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar