Gangsal Atus Mawon
Hari semakin siang. Mendung hitam menggayut. Sebentar lagi
pasti akan turun hujan yang sangat lebat. Bergegas meja kurapihkan. Komputer
proses shut down. Sejenak kemudian
aku keluar ruang kerja.
Sampai di gerbang kantor, rintik hujan mulai menetes. Masker
dan topi yang setiap hari melengkapi uniformku kukenakan. Itu pun sambil
berjalan dengan tergesa.
Sampai di jalan raya, rintik hujan makin deras. Kucari
pepohonan yang lebih lebat daunnya untuk berteduh. Sambil menanti kedatangan
bus yang akan kutumpangi pulang ke rumah.
Saat itulah tiba-tiba muncul Piyayi Sepuh. Berbaju rombeng,
celana jeans compang-camping. Tangan kirinya menggenggam tas kresek hitam dan
payung butut yang terlipat. Tangan kanannya kemudian diulurkan ke arahku. Minta
sesuatu.
“Den. Paringi arto
gangsal atus kemawon. Yen mboten enten nggih mboten nopo-nopo.”
Di saku baju seragamku tersedia empat lembar dua ribuan
untuk ongkos naik bus. Biasanya cukup membayar tujuh ribu rupiah, sudah sampai
di rumah. Sudah jadi kebiasaan, ongkos bus kusiapkan. Dompet ada di dalam tas.
Kuambil selembar dua ribuan dan kuserahkan ke Piyayi Sepuh.
“Kok kathah sanget Den.
Gangsal atus mawon.”
“Ditampi mawon, Pak.”
“Matur nuwun sanget, Den. Mugi-mugi tansah pinaringan rejeki,
bagas waras, ....”
Bus yang kunanti akhirnya datang. Tiga lembar dua ribuan
kulipat dan kubayarkan kepada kondektur saat aku dimintai bayaran.
Catatan bijaksana:
Permohonan yang kita sampaikan dalam doa-doa kita selama ini banyak yang
dipenuhi. Namun begitu, selalu saja rasa kurang yang kita rasakan.