REFLEKSI
KONTEMPLATIF CHAIRIL ANWAR DALAM PUISI ISA
Pengantar
Karya sastra merupakan objek pengetahuan yang bisa
dipahami secara utuh dalam dirinya sendiri sekaligus karya sastra dianggap
sebagai perwujudan sebuah struktur yang abstrak (Todorov, 1985: 1). Mengacu pemahaman
tersebut, puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat dianalisis secara
otonom berdasarkan dirinya sendiri. Hal ini sejalan dengan pendekatan objektif
yang disampaikan Abram (1979) baha karya sastra sebagai karya yang otonom
maknanya berdiri sendiri, terlepas dari sejarah dan sosial budayanya.
Analisis puisi yang hanya terpaku pada unsur-unsurnya
dianggap belum lengkap. Struktur yang abstrak perlu diungkapkan untuk
mendapatkan makna yang lebih utuh. Makna menyeluruh sebuah puisi tidak cukup
hanya digali melalui unsur-unsur puisi tersebut, tetapi perlu dideskripsikan
sampai tataran makna yang lebih dalam.
Hal-hal di atas menjadi dasar analisis yang akan
diuraikan dalam tulisan ringkas ini. puisi sebagai struktur yang kompleks perlu
dianalisis berdasarkan unsur-unsur sebagai upaya untuk mengetahui keterkaitan
bagian satu dengan bagian yang lainnya. Setelah kesatuan unsur-unsur tersebut
diungkapkan, analisis dilanjutkan untukmenemukan makna yang terkandung di dalam
jalinan unsur-unsur tersebut.
Langkah-langkah analisis mengacu tahapan-tahapan yang
disampaikan oleh Pradopo (2007: 14-21), yaki analisis strata norma menurut
Roman Ingarden. Analisis strata norma meliputi lapis suara (sound stratum), lapis arti units
of meaning), lapis ketiga, lapis keempat, dan lapis kelima. Analisi strata
norma dianggap belum menyentuh hakikat puisi sehingga untuk menemukan maknanya
dilakukan analisis semiotik. Analisis strata norma dan analisis semiotik
diharapkan dapat mengungkapkan makna selengkapnya sehingga puisi sebagai karya
seni dapat diketahui nilai estetiknya. Objek kajian dalam tulisan ini adalah
puisi ISA karya Chairil Anwar.
Analisis Strata Norma Puisis ISA
ISA
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
Kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera
mengatup luka
aku bersuka
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
(Chairil Anwar
dalam Pradopo, 2007: 34-35)
a. Lapis Suara (sound stratum)
Ketika seseorang membaca puisi, yang terdengar adalah
rangkaian bunyi dengan jeda pendek, agak panjang, dan jeda panjang. Suara-suara
yang terdengar bukan sekadar bunyi melainkan suara-suara yang mengikuti
konvensi bahasa tertentu yang memiliki makna. Bunyi-bunyi yang dipergunakan
penulis dalam puisi perlu ditelaah. Setiap bunyi kita yakini mengungkapkan
makna tertentu. Paling tidak lewat buntiysng diperdengarkan dalam puisi,
pembaca menjumpai suasana riang gembira, ringan ceria, pedih merintih, berat
menekan, dan lain sebagainya.
Puisi ISA karya
Chairil Anwar di atas juga mengandung satuan-satuan suara yang terdiri atas
suara suku kata, kata, frase, dan kalimat. Lapis bunyi puisi tersebut mengikuti
konvensi bunyi bahasa, dalam hal ini adalah konvensi bunyi bahasa Indonesia
sebagai media ungkap puisi.
Efek puitis yang muncul pada puisi ini antara lain adanya
asonansi bunyi a, mendampar tanya: aku
salah; berkaca dalam darah; terbayang terang di mata masa; dan bertukar rupa ini segera. Asonansi bunyi
u misalnya kita lihat pada: kulihat tubuh mengucur darah. Aliterasi t, d, dan m dapat kita lihat pada: terbayang
terang; dalam darah; dan mata masa.
Selain itu permainan bunyi r pada mengucur darah dan bertukar rupa ini segera menciptakan resonansi yang menggetarkan
jika puisi dibacakan.
Bunyi dominan h yang
dipakai mengakhiri hampir seluruh akhir baris memunculkan nuansa pedih yang
mendalam. Bunyi ini melambangkan situasi yang demikian berat seberat
penderitaan yang dialami Isa.
b. Lapis Arti (units of meaning)
Satuan arti puisi terbentuk dari kesatuan terkecil berupa
fonem. Fonem terdiri atas suku kata dan kata yang kemudian tergabung menjadi
frase, kalimat, alinea, bait, bab, dan kesatuan cerita. Bagian pertama puisi itu tubuh mengucur darah mengucur darah berarti
tubuh itu sungguh-sungguh mengucurkan darah. Rubuh patah, tubuh mengucur
darah itu akhirnya rubuh mati dan untuk membuktikan benar-benar sudah mati,
salah satu bagian perlu dipatahkan (menurut catatan Injil, tidak ada yang perlu
dipatahkan karena sudah mati). Mendampar tanya:
aku salah?, si aku dihinggapi pertanyaan reflektif karena ia membiarkan tragedi
itu berlangsung dihadapannya.
Baris-baris selanjutnya, aku tetap memandang tubuh mengucur darah itu. Sebagai bagian
refleksi kehidupannya, aku pun
berkaca pada peristiwa tragis tersebut. Ternyata di balik curahan darah itu ada
bayangan terang hidup yang akan segera menggantikan dan itu dapat dialami oleh
setiap orang yang mau introspeksi diri. Si
aku menutup kesedihan yang menguasai dirinya
seperti luka menganga yang mengatup. Bahkan si
aku mencoba mengganti kesedihan itu
dengan rasa sukacita. Fakta tubuh mengucur darah tetap menjadi kenyataan yang
tidak terhapus.
c. Lapis Ketiga
Lapis ketiga mengacu
pada objek-objek yang dikemukakan: pelaku yang dapat ditemukan dalam puisi, latar waktu, suasana, maupun tempat, dan dunia
pengarang. Objek-objek yang dikemukakan meliputi tubuh, darah, terang, mata,
rupa, dan luka. Latar yang ditampilkan bukan latar waktu dan latar tempat
tetapi latar suasana, yang penuh dengan kepedihan yang mencekat mencengkam. Pelaku
atau tokoh adalah si aku.
Dunia pengarang
adalah dunia yang diciptakan pengarang. Pada bagian ini ada gabungan dan
jalinan objek-objek yang dikemukakan, latar pelaku, dan struktur berupa alur
cerita.
Pengarang mengisahkan
ceritanya sebagai berikut. Tubuh itu mengucurkan darah. Darah terus mengucur
dan tubuh itu akhirnya rubuh, mati. Untuk membuktikan bahwa tubuh itu sudah
mati, ada bagian yang harus dipatahkan. Saat pengarang melihat kejadian itu (paling
tidak dalam bayang imajinya), sebuah pertanyaan menyeruak di alam bawah
sadarnya. Siapakah sebenarnya yang bersalah? Akukah yang bersalah?
Darah yang mengucur
dipakai sebagai cermin untuk berkaca. Cermin darah itu memantulkan bayangan
terang yang akan muncul pada waktu tertentu. Bayangan itu mampu mengubah dengan
segera kesedihan menjadi harapan sukacita. Tetapi tubuh itu memang harus
mengucurkan darah.
d. Lapis Keempat
Lapis dunia yang
implisit pada puisi ini adalah: tubuh yang mengucurkan darah itu menyebabkan
kepedihan yang luar biasa. Bagian selanjutnya menyiratkan tragedi kemanusiaan
yang mencekam (rubuh, patah) hingga hati tercekat. Situasi itu memunculkan
pertanyaan kontemplatif ‘aku salah?’.
Pada bagian
selanjutnya muncul keberanian si aku untuk
mencoba memahami situasi dengan becermin pada kaca darah. Apa yang yang dilihat
membawanya pada kesadaran makna di balik tragedi yang terjadi. Ada sukacita
yang ditawarkan melalui peristiwa mencekam itu.
Bagian terakhir
puisi menegaskan bahwa peristiwa itu memang harus terjadi. Tragedi kemanusiaan
yang diyakini sebagai jalan menunju yang Illahi.
e. Lapis Kelima
Lapis metafisis pada puisi ini adalah di balik peristiwa
tragis ada harapan yang terbentang berupa kehidupan terang benderang. Kehidupan
terang itu menjanjikan suasana yang penuh kegembiraan. Suasana yang selalu
diwarnai kesukacitaan.
Analisis Makna Puisis ISA
Puisi ISA karya Chairil Anwar dapat dianalisis dari beberapa sudut
pemahaman. Dari aspek bunyi yang dipergunakan, Chairil memberi gambaran suasana
berat dan sedih. Bunyi a dan u yang dominan mampu memperdalam ucapan,
sehingga timbul suasana khusus. Bunyi-bunyi itu terasa berat dan rendah yang
menunjukkan perasaan sedih, gundah, muram, dan murung. Jika dibaca, puisi ini
akan tepat diungkapkan dengan nada bas
atau bariton serta vokal bertimbre berat sehingga suasana puisi
muncul dalam getaran-getaran berat pembaca.
Pemilihan akhir baris dengan
bunyi h memberi penegasan betapa
dramatisnya peristiwa yang terungkap dalam puisi. Jika hal ini dapat dikatakan
sebagai pola persajakan puisi maka Chairil berhasil dengan baik menciptakan
daya evokasi dalam puisinya. Bunyi h yang dipergunakan memiliki daya yang sangat kuat dalam
memunculkan pengertian yang disampaikan.
Subagyo Sastrowardoyo (1980: 51)
memahami mengapa Chairil Anwar mampu mengekspresikan jelmaan angan-angannya
sedemikian baik tetapi tragis. Gejala kejiwaan berupa dorongan kepada keganasan
serta kecenderungan hendak menyaksikan kerusakan tubuh mendorong dia memilih
kata darah, luka, rubuh, dan patah. Situasi yang membingungkan serta jiwa yang
tersiksa mendapatkan ruang ekspresi melalui luka
parah dan kebinasaan tubuh itu.
Mengapa ISA? Kegelisahan dan penderitaan berupa pergulatan batin yang
dilakukan dalam alam abstrak meninggalkan bekas pada wajah kejiwaannya. Ia mendapatkan
kristalisasi dari semua itu dalam situasi nihilitis dan destruktif. Sementara itu,
ISA
adalah abstraksi paling tepat sebagai simbol ketidakeksisan manusia dan
kehancuran yang juga dialaminya. Chairil Anwar menemukan analog paling pas
dengan sesuatu yang menghunjam pengalaman kejiwaannya pada ISA. ISA merupakan refleksi kontemplatif kehidupannya. Terlebih lagi,
Chairil Anwar tidak mungkin memungkiri diri sebagai homo religious.
Sosok ISA tidak semata-mata
menjadi konkretisasi penderitaan mahadahsyat tetapi tidak lepas dari fakta lain
yang dialami oleh Chairil. Chairil adalah penyair pro-Barat. Di tengah kesesakan himpitan politik Jepang, Chairil
menggali kembali khasanah sastra Barat yang dibiarkannya memengaruhi dirinya dengan
sikap dan pandangan ke-Eropa-annya. Hasilnya adalah Chairil yang memiliki jiwa
khas Barat yang bersajak dalam bahasa Indonesia (Sastrowardoyo, 1980: 52).
Penutup
Mencoba memahami puisi ISA karya Chairil Anwar, ada dua hal penting yang
perlu diperhatikan. Pertama, ISA merupakan
simbol kekosongan eksistensi diri manusia. Ketika orang digerogoti oleh
pertanyaan tentang jati diri, ISA
adalah simbol paling tepat mengenai hal itu. Kedua, ISA (dalam istilah sekarang) merupakan ikon ketika manusia mencoba
mencari referensi tentang kehancuran manusia dan kemanusiaan.
Daftar Pustaka
Abram, M.H. 1979. The
Mirror and The Lamp: Romantic Theory and Critical Tradition. New York:
Oxford University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007 (cetakan ke-7). Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma &
Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sastrowardoyo, Subagio. 1980. Sosok Pribadi dalam Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.
Todorov, Tzetan. 1985. Tata
Sastra. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar