Senin, 13 Desember 2010

RSBI

Menghitung Ulang RSBI

“Harus segera dievaluasi menyeluruh. Penerimaan siswa baru saja sudah menunjukkan aksklusivitas. Dalam prosesnya juga tak transparan, termasuk dalam wawancara yang saling beradu besarnya sumbangan. Kami sering menerima keluhan masyarakat soal itu.” (Suara Merdeka, Kamis, 4 Februari 2010).

Pernyataan di atas disampaikan oleh Ketua Dewan Pendidikan Surakarta. Pernyataan menjadi desakan dilakukannya evaluasi menyangkut keberadaan RSBI. Dari pernyataan itu setidaknya ada tiga persoalan penting yang mendesak untuk dievaluasi. Tiga persoalan penting itu adalah perlunya penataan sistem seleksi murid baru, perlunya peraturan pembiayaan, dan perlunya penyiapan SDM yang kompeten.

Desakan evaluasi tidak perlu ditanggapi secara reaktif apalagi dijadikan polemik berkepanjangan. Evaluasi merupakan bagian dari proses yang sedang berjalan. Evaluasi hanyalah proses wajar yang diperlukan untuk mengetahui dan menemukan formulasi yang lebih tepat. Evaluasi jangan dimaknai mencari-cari kelemahan dan kesalahan tetapi sebuah kewajaran yang dikerjakan berdasar semangat refleksi. Refleksi akan menolong seluruh komponen yang sedang berproses mengidentifikasi hal-hal baik maupun yang belum. Dengan semangat refleksi itu, hal baik dikembangkan menuju kebakuan standar pengelolaan. Adapun hal yang masih kurang baik dikaji untuk menemukan format yang sesuai kebutuhan.

RSBI memang merupakan keputusan dan kewenangan pemerintah pusat. Seolah-olah daerah tinggal melaksanakannya. Namun perlu diingat, implementasi di lapangan memerlukan regulasi teknis untuk operasionalnya. Teknis implementasi bersentuhan langsung dengan realitas situasi dan kondisi nyata di lapangan. Sehingga regulasi bukan dalam rangka mengintervensi pelaksanaan manajemen berbasis sekolah melainkan untuk menjawab persoalan yang berkembang. Ketentuan-ketentuan dalam regulasi lebih dimaksudkan untuk memberi rambu-rambu pelaksanaan.

Dalam hal seleksi siswa baru misalnya. Masing-masing sekolah memiliki karakteristik dan ciri khas yang berbeda-beda. Demikian pun dengan daya dukung dan potensi yang tersedia. Usulan seleksi dengan cara online tentu menarik untuk dipertimbangkan meski tidak serta-merta diterima.

PSB online dengan modifikasi sesuai kebutuhan sekolah layak ditempatkan dalam prioritas pilihan. Kesediaan Universitas Sebelas Maret untuk membantu dalam hal teknologi patut disambut baik. Sekolah bertaraf internasional mestinya akrab dengan nuansa teknologi. Kalau tawaran bantuan teknologi yang disampaikan ditolak, masyarakat bisa mempertanyakan keinternasionalan taraf sekolah tersebut.

Sistem seleksi berdasarkan penelusuran minat dan kemampuan juga layak dijadikan alternatif. Usulan ini tentu bukan sekadar ingin mengganti sistem yang berlaku. Sistem yang diterapkan sekarang ini sudah melalui pengkajian dan pertimbangan. Kalau dalam perkembangannya didapati ketidakrelevanan, itu hanyalah masalah tuntutan situasi yang berubah. Di sisi lain mungkin sudah saatnya melakukan penyempurnaan model seleksi itu.

Apakah serta-merta penelusuran minat dan kemampuan menjawab persoalan seleksi siswa baru? Tentu tidak. Kesiapan perangkat menjadi kendala tersendiri. Misalnya saja, proses penelusuran minat dan kemampuan siswa tingkat SD. Parameter baku yang dibutuhkan perlu dipikirkan sejak awal. SDM yang kompeten perlu disiapkan. Demikian juga, diperlukan penyusunan instrumen yang sahih untuk menjaga objektivitas hasil. Ini baru seleksi untuk tingkat SD. Bagaimana dengan SMP dan SMA yang lebih kompleks? Dalam konteks menggulirkan wacana, hal ini layak oleh dicatat para pemangku kepentingan.

Proses seleksi siswa melalui online, penelusuran minat dan kemampuan, atau sistem apapun yang nantinya dipilih sebaiknya dikaji secara komprehensif. Dengan melibatkan unsur perguruan tinggi, kajian terhadap persoalan seleksi semakin mendekati kebutuhan di samping menjawab rasa keadilan masyarakat untuk mendapatkan hak pendidikan. Proses penerimaan siswa tentu tidak sekadar menerima jumlah siswa tertentu dengan persyaratan tertentu pula. Proses ini mestinya juga telah memperhitungkan aspek pembiayaan yang harus ditanggung masyarakat. Tidak bisa dimungkiri bahwa pengelolaan RSBI membutuhkan biaya lebih dari sekolah-sekolah standar nasional. Persoalan yang harus dipikirkan adalah bagaimana besaran dana yang dihimpun satuan pendidikan tidak mengurangi hak pendidikan masyarakat kurang mampu.

Kesiapan sumber daya guru menjadi persoalan tersendiri dalam menyukseskan program RSBI. Perlu diingat bahwa sekolah dengan status RSBI bukan sekolah baru. Sekolah-sekolah ini sejak awal sudah lengkap perangkatnya termasuk guru-gurunya. Tidak adil jika dalam hitungan satu dua tahun menuntut guru-guru di RSBI juga berubah bertaraf internasional. Jadi tidak perlu kaget jika ternyata para siswa di RSBI kurang mendapatkan pelayanan bertaraf internasional dari guru-gurunya.

Ada banyak alternatif yang bisa ditempuh untuk mengatasi persoalan ini. Guru-guru muda potensial difasilitasi mengembangkan diri. Bukan sekadar mampu berbahasa Inggris sebagai ciri keinternasionalan tetapi kualifikasi pendidikan S2 mutlak disandang seperti ditargetkan oleh Dirjen PMPTK. Guru-guru yang pensiun, posisinya digantikan oleh guru potensial tingkat kota. Caranya dengan melakukan seleksi terhadap guru-guru yang tersebar di berbagai satuan pendidikan. Seleksi untuk mendapatkan pendidik berkualitas yang diharapkan menjawab persoalan guru di RSBI. Seleksi adalah bentuk teknis rolling guru sekaligus dipakai untuk mengurangi keluhan kualitas pelayanan. Ini ditempuh dengan pemahaman bahwa RSBI adalah lokomotif peningkatan kualitas pendidikan.

Kita semua berharap program yang baik akan membawa kebaikan bagi seluruh masyarakat. RSBI dimaksudkan untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dan di daerah pada khususnya. Era global yang terjadi saat ini memerlukan langkah antisipasi. Perburuan negara tetangga terhadap siswa-siswa berpotensi harus diantisipasi dengan wadah pendidikan dengan standar tertentu. Semoga RSBI menjadi salah satu jawabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar