Rabu, 08 Februari 2012

अर्तिकेल Pendidikan

Guru Profesional dan Tantangannya


Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Demikian rumusan yang terdapat dalam Bab IV Pasal 8 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Rumusan itu menjadi penegasan betapa strategis dan pentingnya peran dan kedudukan guru dalam dunia pendidikan.

Penjelasan mengenai rumusan-rumusan peraturan tersebut dapat dibaca pada bagian-bagian selanjutnya. Misalnya mengenai kualifikasi akademik, seorang guru memperoleh kualifikasi melalui pendidikan tinggi program yang disyaratkan, program sarjana (S-1) atau program diploma empat (D-IV) (Pasal 9). Adapun mengenai kompetensi, guru harus menguasai kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperolah melalui pendidikan profesi (Pasal 10: 1).
Mengacu pada hal penting di atas, guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional yang sama dengan profesi-profesi lain, seperti: dokter, akuntan, advokat, apoteker, dan lain-lain. Ditinjau dari fungsinya, guru berfungsi untuk meningatkan martabat dan perannya sebagai agen pembelajaran dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Kedudukan guru sebagaii tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Tujuan itu bermuara pada berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Trianto, 2007: ix).

Pencaaian tujuan pendidikan seperti yang telah diamanatkan tentu bukan perkara gampang untuk diwujudnyatakan. Usaha keras semua pihak yang terlibat merupakan kunci keberhasilan yang diidam-idamkan. Terlebih dengan berbagai perubahan yang terjaid sekarang ini. perkembangan sesuatu sangat pesat, termasuk di dalamnya adalah perubahan di dunia pendidikan. Tantangan besar menghadang para guru sebagai aktor utama dan penting yang langsung terlibat didalamnya.

Guru dituntut mampu menjawab tantangan kebutuhan yang dihadapinya. Jika merujuk pada hal-hal yang diuraikan pada bagian awal, seorang guru haruslah seorang profesional dalam bidangnya. Profesional yang dimaksud adalah mencakup seluruh aspek yang dibutuhkan dalam menjalani dan menjalankan tugas profesionalnya sebagai seorang pendidik.

Prinsip Profesionalitas


Profesi guru seperti tersebut dalam Bab III Pasal 7 Undang-undang Guru dan Dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan sejumlah prinsip. Ada dua prinsip yang paling mendasar pada peraturan ini. Prinsip yang pertama adalah memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme. Adapun prinsip yang kedua adalah memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme bersifat pribadi. Hal-hal itu berkaitan dengan sifat dasar atau pembawaan yang akan sangat besar pengaruhnya bagi pelaksanaan tugas profesional guru.

Seorang guru membutuhkan bakat untuk menjalankan tugas profesionalnya. Seorang guru juga memerlukan minat yang besar untuk senantiasa menjaga motivasinya. Sementara itu, panggilan jiwa dapat menjadi alasan seseorang tetap melaksanakan tugas meski tantangan semakin besar dan berat. Sedangkan idealisme seorang guru menjadi alasan untuk terus berusaha mencapai hal terbaik bagi peserta didik.

Komitmen meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia berkaitan dengan integritas seseorang. John Adair (1994: 227) memasukkan integritas sebagai salah satu syarat pencapaina hasil dalam konteks manajemen puncak. Integritas bagi seorang guru sangat diperlukan sebagai salah satu ciri keteladanan yang harus ditunjukkan guru profesional.

Prinsip yang lain menyangkut bidang keahlian, yakni memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas di samping memilkiki tanggung jawab atas bidang tugas keprofesionalan. Seorang guru profesional disyaratkan menguasai kompetensi dan performansi sesuai bidang tugasnya. Penguasaan bidang tugas dengan segala prasyaratnya mutlak dimiliki. Penguasaan itu pada akhirnya harus direalisasikan dalam praktik proses pembelajaran. Kompetensi dan performansi seorang guru profesional menjadi modal utama untuk keberhasilan pelaksanaan tugas profesionalnya.

Prinsip-prinsip tersebut menjadi acuan penyelesaian seluruh persoalan keguruan. Sebagai dasar filosofis, satu prinsip tidak lebih tinggi atau penting kedudukannya. Sebaliknya pula, prinsip yang satu tidak lebih rendah dariyang lain. Jadi dalamhal ini tidak ada prinsip yang merupakan subordinat dari prinsipyang lain.

Namun demikian, pertimbangan-pertimbangan praktis memberi kemungkinan menyusun urutan prioritas dalam memandang hal-hal tersebut. Tuntutan kebutuhan dengan berbagai situasi yang melatarbelakangi kadang-kadang perlu juga dijadikan pertimbangan untuk menentukan urutan prioritas. Misalnya, prinsip memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas pada saat tertentu lebih utama daripada prinsip memperoleh penghasilan yang ditentuan sesuai dengan prestasi kerja. Sebagai pertimbangan praktis, hal ii hanya berlaku pada tempat, situasi, kondisi, dan pertimbangan tertentu. Artinya, tida berlaku generalisasi dalam praksis implementasi di lapangan.

Kompetensi Dasar Guru


Usaha mencapai profesionalitas seorang guru dapat dilakukan dengan cara menguasai empat kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh guru. keempat kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional (Trianto, 2007: 71-72).

Pada kompetensi pedagogik, guru harus mampu mengelola pembelajaran di kelas. Pengelolaan mengandung unsur pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Sementara itu, kompetensi kepribadian mencakup kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Jeremy Harmer (1998: 1), “I like the teacher who has his own personality and doesn’t hide it from the students so that he is not only a teacher but a person as well-and it come through the lesson”.


Ely Prihmono Suwarso Putro
Guru SMA Kristen 1 Surakarta

रेसेंसी BUKU

Guru: Inspirasi Tiada Henti

Judul buku : Menjadi Guru untuk Muridku
Pengarang : ST. Kartono
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Tahun terbit : 2011
Tebal buku : 271 halaman

“Tanpa disadari guru sering menjadi guru untuk aparat pemerintah, menjadi guru untuk dinas pendidikan, menjadi guru untuk aturan-aturan, menjadi guru untuk kepentingan dagang di sekolah atau menjadi guru untuk berjualan paham.” (hlm. 6)
Apa reaksi guru ketika membaca kalimat di atas? Beberapa teman guru yang diminta membaca, ternyata ada yang merasa disindir, ada yang merasa sedikit dilecehkan, ada yang merasa dihakimi, ada yang merasa diintimidasi, bahkan ada yang merasa diprovokasi. Tetapi ada juga yang merasa biasa-biasa saja. Sebagian lain ada yang mengamini bahwa itu realitas yang harus diterima. Artinya, fakta di sekitar memang seperti itulah keadaan sebagian guru-guru kita.

Kalimat itu adalah pernyataan ST. Kartono, penulis buku berjudul Menjadi Guru untuk Muridku. Pernyataan secara eksplisit diungkapkannya pada bagian awal tulisan, tepatnya pada Kata Penulis. Kalimat seperti itu tidak mungkin ditulis tanpa alasan. Penulis kalimat adalah seorang guru dengan pengalaman dan jam terbang yang lebih dari cukup. Mengajar sejak 1991 di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta, memberinya segudang pengalaman dan seabreg informasi seputar kondisi guru saat ini.

Tidak bisa dipungkiri bahwa guru selama ini berada dalam pusaran tarik menarik kepentingan yang ada. Guru menjadi alat politik pejabat daerah bukan hal baru. Guru menjadi bagian tim sukses keberhasilan ujian nasional hampir setiap tahun mengemuka. Guru menjadi subordinat dari kekuasaan di atasnya adalah hal wajar, lumrah. Itu artinya, guru menjadi tidak berdaya di bawah bayang-bayang kekuasaan yang selalu menekannya. Isu sentralisasi guru yang bergulir saat ini pun tidak lepas dari semangat membebaskan guru dari kepentingan-kepentingan yang menekan dan mengikatnya.
Membebaskan guru lebih dari sekadar melepaskannya dari ikatan-ikatan kepentingan yang sering membelenggunya. Substansi pembebasan guru adalah melucutinya dari segala ikatan kepentingan, melepaskannya dari beban atribut-atribut yang menempel, atau bahkan menelanjanginya dari berbagai pesan sponsor. Dengan demikian, guru bisa kembali pada kitahnya, kembali kepada jati dirinya sebagai guru. Untuk hal ini, ST. Kartono didalam bukunya memberi telaga kebijakan bagi guru.

Menjadi Guru untuk Muridku berisi tulisan-tulisan yang pernah dipublikasikan Harian Jogja. Bunga rampai ini berisi 70 artikel yang menyajikan refleksi ST. Kartono selama menghidupi profesinya sebagai guru. Ketujuh puluh artikel disajikan dalam tiga bab yang masing-masing bab memuat tulisan dengan jalinan benang merah yang sama.

Guru Impian
Murid-murid di kelas tentu memiliki sosok guru yang diimpikannya. Sosok guru yang diimpikan siswa harus dipahami oleh setiap orang yang berstatus guru dan menyebut dirinya guru. Tulisan-tulisan pendek dalam buku terbitan Kanisius ini ibarat telaga yang airnya bening, berupa nilai-nilai adiluhung. Lebih tepatnya adalah nilai-nilai mulia yang harus terpancar dari seorang guru. Air yang jernih itu bisa dipakai becermin oleh guru untuk melihat wajah keguruannya. Air itu sekaligus nilai (value) ‘keguruan’ yang sudah selayaknya mengaliri setiap siswa yang mengalami perjumpaan dengan gurunya.

Nilai-nilai keguruan itulah yang menempatkan seorang guru sebagai sosok impian para siswanya. Dan ciri-ciri guru impian itu dipaparkan dengan lugas, dibumbui ilustrasi menarik dan membumi. Sebagian dari ciri itu, misalnya: setiap guru yang hadir di depan kelas harus memiliki kebanggaan terhadap profesi yang dihidupinya. Kebanggan dengan sendirinya akan tampak pada sikap optimismenya menjalankan dan menjalani profesi guru itu. Optimisme yang terus terpancar dari seorang guru akan menjadi virus positif bagi murid-murid. Optimisme itu akan menjalar dan selanjutnya menciptakan optimisme kepada seluruh kelas.

Sejumlah karakter lain juga harus muncul dalam seluruh aktivitas guru impian. Ia haruslah seorang yang mampu tampil baik, secara fisik dan profesional. Guru impian wajib membangkitkan antusiasme para murid. Guru impian harus menularkan kreativitas, cara berpikir positif, ketangguhan menghadapi persoalan, dan kebahagiaan menjalani profesi. Guru impian pada dasarnya adalah seorang extraordinary teacher.

Inspirasi Tiada Henti
Roh terpenting buku ini adalah: guru harus menjadi inspirasi tiada henti bagi para muridnya. Ihwal inspirasi tiada henti diberi penekanan lebih oleh ST. Kartono dalam buku setebal 271 halaman ini. Meminjam konsep Hu Wen Chiang, seorang pakar pendidikan dari Taiwan, ada empat tipe guru yang mestinya dipahami oleh para guru (hlm. 33). Tipe pertama, guru yang hanya bisa memindahkan informasi dari buku ke peserta didik di kelas. Tipe kedua, guru yang bisa menjelaskan sebuah masalah atau bahan ajar. Tipe ketiga, guru yang bisa menunjukkan materi ajar dengan baik. Dan tipe keempat, guru yang bisa menjadi inspirasi bagi muridnya untuk maju.

Hanya guru yang bisa menjadi inspirasi bagi muridnya disebut guru ideal. Untuk mencapai predikat itu bukan pekerjaan yang sulit dan rumit. Memberi inspirasi dapat dilakukan dengan kebiasaan-kebiasaan standar, cara-cara sederhana yang sudah biasa dilakukan oleh guru. Kebiasaan standar itu antara lain memuji, memamerkan, dan mengakui karya muridnya (hlm. 34). Ketiga kebiasaan yang oleh sebagian guru dianggap remeh-temeh, menurut kolomnis pendidikan yang telah mengorankan lebih dari 400 artikel ini pengaruhnya terhadap kehidupan murid bisa seumur hidup. Pengalaman hidupnya saat sekolah di SD hingga PT memberi keyakinan yang sangat besar akan hal itu. Kesaksian mengenai hal ini bisa dibaca di tulisan ke-6 yang berjudul Guru Inspiratif (hlm. 31-34).

Apa yang dirasakan seorang guru saat mendengar atau menemukan murid-muridnya mengungkapkan pernyataan berikut ini? “Gara-gara guru itu saya sekarang menjadi seperti ini” atau “Coba kalau tak ada pak guru, pasti saya tidak akan memilih pekerjaan ini” (hlm. 15). Pernyataan itu sebentuk indikasi bahwa kehadiran guru membawa makna dalam perubahan haluan hidup muridnya. Pun betapa sangat berharganya seorang guru jika muridnya memiliki obsesi seperti ini ”Saya ingin menjadi guru karena ingin seperti Bapak” (hlm. 16). Dan akan semakin dramatis kalau ada siswa yang mengungkapkan “Saya hanya ingin bilang, guruku adalah orang terbaik yang kujumpai dalam hidupku!” (hlm. 19).

Tidak berlebihan jika Hu Wen Chiang menempatkan guru inspiratif pada tataran tertinggi kasta guru. Inspirasi, seperti diyakini ST. Kartono, akan mengaliri nadi kehidupan siswa di mana pun dan kapan pun. Inspirasi yang ditanamkan oleh seorang guru merupakan investasi masa depan. Hasil investasi itu yang nantinya mewarnai hidup para siswa di kemudian hari bahkan kehidupan lingkungan masyarakat siswa di masa datang. Itulah mengapa buku ini didedikasikan untuk ribuan rekan guru nan heroik dan para mahasiswa calon guru (hlm. 7). Mungkin nada dan kesannya ambisius. Namun demikian, ambisi ini akan mewujud jika seluruh guru meyakini bahwa keadaan masih bisa berubah dan diubah. Pelaku-pelaku perubahan itu tidak lain adalah guru, yang pertama-tama harus mau dan mampu mengubah dirinya. Dan perubahan itu dimulai dengan menjadi guru untuk murid-murid, bukan untuk yang lain.

Ely Prihmono S.P.
Guru SMA Kristen 1 Surakarta

d.a.
SMA Kristen 1 Surakarta
Jalan Honggowongso 135
Surakarta 57153