Rabu, 31 Maret 2010

रेनुंगन जमात Agung

ISA
(Chairil Anwar)

Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah

rubuh
patah

mendampar tanya: aku salah?

Kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera

mengatup luka
aku bersuka

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

Enam puluhan tahun yang lalu, puisi Isa ditulis. Cobalah baca dengan cermat puisi di atas. Mungkin ada di antara kita yang sangat akrab dengan puisi itu. Mungkin ada yang lupa-lupa ingat tetapi memunculkan nostalgia tertentu. Mungkin ada yang pernah mendengarnya saat dibacakan tapi entah di mana. Tidak tertutup kemungkinan juga, ada yang sama sekali belum pernah membacanya. Puisi Isa di atas ditulis oleh penyair legendaris yang dimiliki Indonesia, Chairil Anwar. Kepenyairan sastrawan ini tidak diragukan lagi. Diakui di Indonesia dan dikenal di dunia. Karya-karyanya menyejarah bahkan mampu memberi dan menggugah inspirasi banyak orang.

Apakah Chairil Anwar seorang Nasrani? Apakah dia seorang Kristen yang taat? Apakah dia seorang penghayat kekristenan? Atau, siapakah dia sehingga mampu menggambarkan peristiwa penderitaan Kristus dengan sangat hebat? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak lebih penting jika dibandingkan dengan apa yang bisa kita hayati dari baris-baris puisinya.

Di peringatan Jumat Agung ini, puisi Isa sengaja dihadirkan. Ada baiknya kita membaca tragedi penyaliban dan kematian Kristus dalam perspektif yang berbeda.Tragedi penyaliban Kristus telah berkali-kali dan berulang-ulang kita baca di empat Injil (Matius 27: 32-44, Markus 15: 21-32, Lukas 23: 33-43, dan Yohanes 19: 17-24). Karena terlalu sering kita baca, catatan keempat Injil itu sering juga menjadi sekadar cerita biasa. Yang lebih buruk, peristiwa itu tidak lagi bercerita apa-apa kepada kita.

Puisi Isa secara dramatis menggambarkan bagaimana Kristus mengalami penderitaan sebelum kematian-Nya. Dari kata-kata yang dipilih: tubuh mengucur darah, rubuh, patah, penderitaan itu menjadi sangat nyata disuguhkan di hadapan kita. Bisa kita bayangkan Kristus yang disiksa itu tubuh-Nya mengucur darah (darah benar-benar mengucur dari luka-lukanya). Tubuh yang mengucur darah itu rubuh (berkali-kali jatuh tersungkur). Tubuh yang mengucur darah itu pun rubuh dan akhirnya patah. Pilihan kata itu untuk menggambarkan bahwa peristiwa yang menimpa Kristus sungguh amat tragis, penderitaan yang sungguh pedih dan perih.

Mengenang kepedihan dan keperihan penderitaan Kristus penting kita lakukan. Pengenangan menjadi salah satu cara untuk berbela rasa. Berbela rasa bukan mengajak kita terjatuh dalam simpati sentimental, terus dikuasai kesedihan dan rasa menyesal berkepanjangan. Pengenangan akan lebih bermakna jika penghayatan penderitaan Kristus menumbuhkan kesadaran rohani sekaligus kesadaran empati komunal dan sosial.

Kesadaran rohani sebagai buah pengenangan penderitaan Kristus akan tercermin dalam perilaku spiritual. Bagaimana kita melakukan ritual ibadah merupakan ukuran kualitas spiritual itu. Kehadiran kita secara wadhag dalam peribadatan-peribadatan adalah penting. Tetapi akan semakin penting ketika kehadiran secara badaniah itu juga diikuti penyerahan rohani yang total sebagai bentuk penghormatan kehadiran Roh Tuhan di tengah-tengah umat. Kadang kita tidak menyadari bahwa kedatangan kita di peribadatan adalah peristiwa mahapenting. Pertemuan yang terjadi adalah pertemuan religius, bertemunya umat dengan Tuhan. Tetapi situasi religius itu kadang tidak tampak.

Peribadatan yang kita langsungkan memang tidak menantikan kehadiran sesuatu yang kasat mata. Yang dinantikan adalah Tuhan Allah yang bersifat Roh. Ketidakkasatmataan itu mestinya membuat setiap orang yang beribadat menjaga kekhidmatan sejak memasuki ruang peribadatan. Siapa tahu yang biasanya dinantikan kehadirannya itu ternyata sudah sejak tadi berada di ruangan, bahkan dengan sopannya mempersilakan kita duduk di dhingklik-dhingklik yang tersedia (Mungkin pemahaman kita tentang menantikan kehadiran Tuhan perlu diganti dengan pemahaman Tuhan selalu menantikan kehadiran kita di peribadatan secara wadhag dan secara roh?).

Lebih lagi dalam merayakan perjamuan seperti yang kita lakukan saat ini. Setiap orang yang sadar bahwa dirinya telah ditebus oleh tubuh berlumur darah, rubuh, dan patah itu, secara pribadi wajib melakukan perayaan perjamuan di dalam dirinya. Bukan sebagai bagian rutin ritual tiga bulanan atau bujono mirunggan tetapi lebih sebagai kesadaran spiritualitas mendalam. Mengingat cacat cela diri, kita semua sebenarnya tidak layak menerima perjamuan itu. Tetapi hanya karena kasih karunia Allah dalam penderitaan dan kematian serta kebangkitan Kristus kita diperkenankan menerima perjamuan kudus itu. Betapa berdosanya kita jika dalam menerima perjamuan tidak melakukannya dengan penuh hormat dan khidmat.

Satu lagi buah pengenangan penderitaan Kristus adalah kesadaran empati komunal dan sosial. Empati komunal dan sosial adalah bentuk nyata penghayatan terhadap kesediaan-Nya menanggung kepedihan dan kesengsaraan. Kesadaran ini harus berwujud sikap dan perilaku meneladani apa yang dikerjakan Kristus selama hidup-Nya. Kristus sepanjang pelayanan-Nya memberi makan mereka yang lapar, menyembuhkan mereka yang sakit, menolong mereka yang tertindas, menguatkan mereka yang lemah, bahkan membangkitkan yang mati.

Ada orang yang kelaparan di sekitar kita. Ada yang lapar secara jasmani dan ada pula yang lapar secara rohani. Ada lagi yang menderita sakit, sakit secara fisik, sakit secara sosial, atau pun yang merasakan sakit hati. Ada yang mengalami penindasan, ada yang kehilangan semangat hidup, ada yang putus asa, dan ada pula yang kehilangan pegangan hidup. Mereka semua perlu uluran tangan. Mereka memerlukan pertolongan kita. Bukan saatnya lagi kita melihat mereka berasal dari komunitas kita atau bukan. Bukan zamannya lagi kita melihat latar sosial orang-orang yang butuh pertolongan itu.

Marilah peringatan Jumat Agung kita jadikan momentum untuk melakukan refleksi. Yakinlah bahwa kesadaran rohani dan kesadaran empati komunal dan sosial tepat untuk memaknai penderitaan Kristus. Pengenangan penderitaan dan kematian Kristus akan semakin tidak bermakna jika pengenangan yang kita lakukan tidak mengubah apa-apa dalam diri kita. Bahkan tubuh berlumur darah, rubuh, dan patah itu hanya akan menjadi sejarah, selanjutnya sebagai cerita lumrah.